13 Nov 2014

KENNETH WALTZ -PENJELASAN TENTANG PERANG:LEVEL ANALISA



Diawali dengan sejarah studi Hubungan Internasional yang muncul antara Perang Dunia I dan II, realisme muncul sebagai arus utama pendekatan hubungan internasional akibat ketidaksempurnaan pendekatan kaum idealis, terutama pembahasan tentang ‘perang’. Pendekatan pemikir Idealis dinilai lemah karena terlalu meremehkan ‘power,’ dan terlalu menyanjung tinggi rasionalitas manusia, bahkan meyakini bahwa negara bangsa telah mencacah sekian besar kepentingan bersama demi mengatasi ‘momok’ perang. Debat-debat mengenai permasalahan power, rasionalitas, kepentingan bersama dan perang, mulai muncul pada masa generasi baru realisme di akhir 1930-an, dimana mereka menekankan pada kemaha-luasan ‘power’ dan pertarungan alami-politik antar bangsa.
Teori yang akan digunakan dalam menjabarkan politik luar negeri Iran adalah Neo-Realisme. Neo-Realisme adalah teori Realisme klasik Hans J. Morgenthau yang diperbaharui Kenneth N. Waltz untuk melengkapi kekurangan teori Realisme dalam menjabarkan realita dunia perpolitikan terkini. Waltz menggunakan pendekatan teori internasional politik yang lebih saintifik. Dalam neo-realisme, negara masih aktor utama juga sebagai leviathan dan penentu haluan “bahtera” politik dunia. Struktur anarki menurut neo-realis memungkinkan negara diserang kapanpun dan self-help is the best way to feel secure.
Neo-Realis melihat power dari pandangan yang berbeda, kepentingan nasional yang paling utama adalah security dan menghalalkan kerjasama dalam pembentukan sekuritas bersama. Hal tersebut kerap kali membuat negara lain yang berada di luar “ikatan” kerjasama terprovokasi untuk meningkatkan kekuatan juga sehingga berakibat security dilema dan dapat berakhir pada perang yang krusial serta collective destruction.
Persamaan neo-realisme dan realisme klasik menjadikan negara dan perilaku negara sebagai fokusnya serta berusaha menjawab pertanyaan mengapa perilaku negara selalu terkait dengan kekerasan. Dalam pemikiran kedua realis ini pula, perilaku negara yang keras dan amoral merupakan konsekuensi dari endemiknya kekuasaan dalam politik internasional, seperti secara jelas dikutip dari “The Globalization of World Politic” John Baylis dan Steve Smith yang diwakili ekspresi Morgenthau (pemikir realisme klasik) dengan "fundamentally about struggle for belonging, a struggle that is often violent".
Adapun bagi neo-realisme, perebutan kekuasaan dalam politik internasional bukan berasal dari hakekat manusia (negara), melainkan dari struktur yang menjadi konteks dari perilaku negara-negara yang bersifat anarkhi.
Dalam sebuah sistem yang secara struktural anarkhi, negara harus bertindak semata-mata berdasarkan kepentingannya sendiri, yaitu mengejar kekuasaan sebesar-besarnya. Negara tidak bisa menggantungkan keamanan dan kelangsungan hidupnya pada negara atau institusi lain, melainkan pada kemampuannya sendiri (self-help), yakni mengumpulkan berbagai sarana seperti yang terutama ialah militer. Tetapi, kebutuhan sebuah negara untuk mempertahankan diri dengan memperkuat kekuatan militernya bagi negara lain merupakan sumber ancaman dan menuntut negara lain tersebut melakukan hal yang sama yang dikenal sebagai security dilemma.
Pemikir kaum neoralis kontemporer termuka  adalah Kenneth Wltz (1979). Menurut teori Neoraliz Waltz, bentuk dasar hubungan internasional adalah struktur anarki yang tersebar di antara negara-negara. Negara-negara serupa dalam semua hal fungsi dasarnya yaitu dismping perbedaan budaya,atau ideologi atau konstitusi atau personal , mereka semua menjalankan tugas-tugas dasar yang sama. Semua negara harus mengumpulkan pajak. Menjalankan kebijakan luar negeri. Negara-negara sangat berbeda hanya mengacu kepada kapabilitas mereka yang sangat beragam. 
Neorealis menyimpulkan bahwa karena perang adalah efek dari struktur anarkis dalam sistem internasional, kemungkinan akan berlanjut di masa depan. Memang, neorealis sering berpendapat bahwa prinsip penataan sistem internasional belum berubah secara mendasar dari saat Thucydides sampai kepada munculnya perang nuklir. Pandangan bahwa perdamaian tidak bertahan lama mungkin dapat dijelaskan oleh ahli teori lain sebagai pandangan pesimis sebagian besar hubungan internasional. Salah satu tantangan utama untuk neorealis  adalah teori perdamaian demokratik dan penelitian yang mendukung seperti buku Never at War. Neorealis menjawab tantangan ini dengan menyatakan bahwa teori perdamaian demokratik cenderung untuk memilih dan memilih definisi demokrasi untuk mendapatkan hasil empiris yang diinginkan (prasangka). Dalam perang tidak ada kemenangan tetapi derajat hanya bervariasi dari kekalahan, proposisi yang telah memperoleh peningkatan penerimaan pada abad kedua puluh. Perang hasil dari keegoisan, dari implus agresif salah arah, dan dari kebodohan. Perang paling sering mempromosikan kesatuan internal dari masing-masing negara yang terlibat.
Pemikiran Kenneth Waltz masih tetap mempunyai kesamaan dengan pendahulunya dengan melihat struktur untuk melakukan prediksi. Di dalam kenyataannya perfect information/balance of power adalah hal yang tidak dapat dibuktikan secara ilmiah. Karl Popper menyatakan bahwa sebuah teori harus bisa difalsifikasi secara ilmiah maka ia dapat dikategorikan teori yang ilmiah. Kenapa dalam situasi apapun ilmuwan tidak dapat melakukan prediksi? Imperfect Information di dalam sistem internasional bisa terjadi walaupun negara-negara mempunyai peralatan yang canggih untuk kegiatan intelejen mereka, seberapa banyak informasi yang akan mereka tampun untuk direduksi untuk mencapai suatu kesimpulan yang benar-benar sahih. Di satu sisi pemikiran natural dari Waltz (natural selection dalam artian beradaptasi) mempunyai kelebihan tetapi karena metode prediksi yang ia perkenalkan maka menurut saya Waltz kurang memperhatikan faktor-faktor random effect dalam suatu situasi.
Teori Neo-Realisme menunjukkan bahwa pergerakan dunia saat ini mengarah pada kerjasama yang terjalin di antara negara-negara adalah untuk memperkuat survival ability dengan pendekatan power dan national interest serta visi bersama. Power sendiri tidak hanya dilihat dari kekuatan militer saja, tetapi bisa dilihat bagaimana kekuatan ekonomi ataupun politiknya mampu memperkuat survival ability suatu bangsa. Kerjasama dalam rangka membangun kekuatan tersebut menghasilkan hubungan sosial yang cukup erat, dapat dilihat bagaimana dekatnya hubungan negara sosialis dengan negara Islam seperti Venezuela dan Iran. Gelombang gerakan Islam dan Neo-Sosialisme menjadi anti-thesis untuk imperialisme Barat. Struktur anarki dunia memaksa negara untuk menentukan sikap bahkan memaksa untuk bertindak. Memilih untuk tidak atau ya, memilih untuk melanjutkan imperialisme Barat atau menghentikannya.

LIBERALISME DAN POLITIK DUNIA : MICHAEL W. DOYLE



Teori hubungan internasional liberal muncul setelah Perang Dunia I untuk menanggapi ketidakmampuan negara-negara untuk mengontrol dan membatasi perang dalam hubungan internasional mereka. Pendukung-pendukung awal teori ini termasuk Woodrow Wilson dan Normal Angell, yang berargumen dengan berbagai cara bahwa negara-negara mendapatkan keuntungan dari satu sama lain lewat kerjasama dan bahwa perang terlalu destruktif untuk bisa dikatakan sebagai pada dasarnya sia-sia. Liberalisme tidak diakui sebagai teori yang terpadu sampai paham tersebut secara kolektif dan mengejek disebut sebagai idealisme oleh E.H. Carr. Sebuah versi baru “idealisme”, yang berpusat pada hak-hak asasi manusia sebagai dasar legitimasi hukum internasional, dikemukakan oleh Hans Kóchler.
Liberalisme adalah pendekatan dalam ilmu hubungan internasional yang, secara ontologis, memiliki asumsi-asumsi dasar sebagai berikut. Pertama, sifat manusia dalam hukum alam adalah baik, rasional, dan mampu bekerja sama. Kedua, manusia lebih memilih damai daripada konflik. Ketiga, demokrasi adalah sistem pemerintahan terbaik. Keempat, negara dibentuk oleh manusia dan oleh karena itu mampu menuruti hukum alam yang sama dengan manusia. Liberalisme mempertanyakan batas-batas kewajiban negara dalam alam domestik dan internasional; membawa kemungkinan sistem internasional yang damai; membutuhkan pertanyaan tentang aktor utama, keuntungan, dan level analisis dalam ilmu hubungan internasional; menekankan pentingnya internasionalisme melalui tajuk liberalisme internasional; dan sangat erat dengan studi etika politik internasional dan keadilan internasional.
Secara epistemologis, liberalisme mengelaborasi hubungan negara dengan masyarakat serta pengaruhnya terhadap perilaku negara dalam politik dunia. Individu dan perilaku mereka dalam berbagai level masyarakat menjadi domain penjelasan atas tindakan negara. Dinamika masyarakat menciptakan preferensi negara, yang amat penting dalam politik dunia. Asumsi-asumsi dasarnya adalah, pertama, aktor nonnegara adalah entitas yang penting dalam politik dunia. Kedua, negara bukanlah aktor uniter. Ketiga, negara bukanlah aktor rasional. Keempat, politik internasional memiliki banyak agenda yang dapat menjadi bahasan.
Perhatian dasar liberalism adalah kebahagiaan dan kesenangan individu. John Locke  berpendapat bahwa Negara muncul untuk menjamin kebebasan  warga negaranya dan kemudian mengijinkan mereka menghidupi kehidupannya dan menggapai kebahagiaannya tanpa campur tangan tak semestinya dari orang lain. Argumen tersebut diperluas oleh Jeremy Bentham –filosof Inggris abad kedelapanbelas- yang memunculkan istilah “hokum internasional”. Ia yakin bahwa hokum internasional berada dalam kepentingan rasional negara-negara konstitusional untuk menyakini hokum internasional dalam kebijakan luar negerinya (Rosenblum 1978:101). Argumen  itu lebih jauh diperluas oleh Immanuel Kant,filosof Jerman abad kedelapanbelas. Ia berpikir bahwa dunia dari Negara konstitusional semacam itu dan Negara-negara yang saling menghargai-Ia menyebutnya “republik”- pada akhirnya dapat membentuk “perdamaian abadi (perpetual peace)” di dunia (Gallie 1978:8-36). Kotak 4.2. meringkas focus pemikiran pemikiran kaum liberal klasik terkemuka. Ringkasnya , pemikiran kaum liberal sangat erat hubungnnya dengan kemunculan Negara konstitusional modern. Kaum liberal berpendapat bahwa modernisasi adalah proses yang menimbulkan kemajuan dalam bnyak bidang kehidupan. Manusia memiliki akal pikiran,dan ketika mereka memakainya pada masalah-masalah internasional,kerjasama yang lebih besar akan menjadihasil akhir.
     Dalam Liberalisme dan Dunia Politik, Michael Doyle jejak tiga strain tradisi intelektual liberal (Michael Doyle, "Liberalisme dan Dunia Politik"). yang ketiga, dan yang paling penting, berasal dari Immanuel Kant. Doyle menggunakan Kant Triad untuk menggambarkan jalan tengah, "Liberal Internasionalisme" antara Schumpeter Liberalisme dan Machiavelli Liberalisme. negara Liberal yang menenangkan (seperti mereka dalam tulisan-tulisan Schumpeter) ketika mereka berinteraksi satu sama lain. negara liberal agresif (seperti mereka dalam tulisan-tulisan Machiavelli) ketika mereka berinteraksi dengan negara-negara liberal. secara umum, negara-negara liberal tidak agresif atau pasifis semua waktu, tetapi memiliki "hati-hati demokratis" yang datang ke dalam bermain hanya antara negara-negara liberal.   
Penjelasan Schumpeter untuk pasifisme liberal cukup sederhana: Hanya pencatut perang dan aristokrat militer keuntungan dari perang. Tidak ada demokrasi akan mengejar hak minoritas dan mentolerir tingginya biaya imperialisme. Ketika perdagangan bebas berlaku, "tidak ada kelas" keuntungan dari ekspansi paksa karena bahan baku asing dan bahan makanan adalah sebagai diakses setiap negara seolah-olah mereka berada di wilayahnya sendiri. Dimana keterbelakangan budaya suatu daerah membuat hubungan ekonomi yang normal tergantung pada kolonisasi tidak peduli, dengan asumsi perdagangan bebas, yang mana dari "beradab" bangsa melakukan tugas penjajahan.
Dua pemikir yang muncul dari liberal internasionalisme adalah Immanuel Kant dan Jeremy Bentham. Pemikiran liberal mereka tentu saja tidak jauh dari kacamata mereka memandang situasi politik pada masa hidupnya yakni pada era Enlightenment.Kant melihat dunia internasional seolah carut marut karena tidak adanya suatu hukum dan norma yang legitimate mengatur perilaku aktor-aktor politiknya. Menurut Kant, perdamaian bisa dicapai apabila terdapat hukum internasional dan kontrak federal antarnegara untuk meninggalkan perang.
Bentham menambahkan pemikiran liberal Kant dengan menyebut contoh nyata yang terjadi pada Germany Diet, American Confederation, dan Liga Swiss yang terbukti mampu memfasilitasi konflik yang terjadi akibat persaingan individu melalui pemerintahan bersama (federasi). Inti dari pemikiran liberal internasionalisme adalah siginifikasi hukum international. Menurut Bentham, hukum international tersebut dapat terbentuk tanpa melalui pemerintahan dunia. Menurut liberal internasionalisme masyarakat internasional berdasar hukum bisa terjadi secara natural sebagaimana Adam Smith menjelaskan mekanisme pasar dengan invisible hands. Ketika suatu negara mengikuti self interest masing-masing, individu secara tidak sadar mendorong terwujudnya kebaikan bersama.

GEOGRAFIS, GEOSTRATEGIS, GEOPOLITIK, DAN GEOEKONOMI RUSIA





Wilayah Rusia berada pada benua Eropa, khususnya Eropa Timur serta benua Asia di mana Pegunungan Ural menjadi batas antara kedua benua. Wilayah paling luas adalah Siberia yang umumnya beriklim tundra. Karena letaknya di belahan bumi yang paling utara, maka wilayah perairan Rusia umumnya tertutupi es dengan beberapa laut yang bebas es yakni Laut Barents, Laut Putih, Laut Kara, Laut Laptev dan Laut Siberia Timur yang merupakan bagian dari Arktik atau kutub utara, serta Laut Bering, Laut Okhotsk dan Laut Jepang yang merupakan bagian dari Samudra Pasifik.
Rusia memiliki beberapa pulau, antara lain Novaya Zemlya, daratan Franz-Josef, kepulauan Siberia Baru, pulau Wrangel di Samudra Arktik, Kepulauan Kuril dan Sakhalin (yang masih dipersengketakan dengan Jepang). Rusia memiliki beberapa sungai, di antaranya Sungai Dnephr (perbatasan degan Ukraina) dan Sungai Volga. Selain itu terdapat Laut Kaspia serta Laut Hitam yang berbatasan dengan Turki. Melalui Selat Bosphorus dan Selat Dardanela, kapal-kapal Rusia dari Laut Hitam dapat berlayar menuju Laut Tengah dan Terusan Suez.
Sebagian besar wilayah Rusia berada di lintang utara. Iklim kutub mempengaruhi wilayah utara mulai dari Arkhangels hingga Siberia. Iklim 4 musim didominasi musim dingin selama 5 bulan sejak November–Maret, musim semi bulan April–Mei, musim panas bulan Juni–Agustus, dan musim gugur bulan September–Oktober.

Rusia merupaka salah satu Negara yang memimpin dari produksi mineral, dan penguasa dari CIS production dari rangkaian produksi mineral yang termasuk didalamnya, logam, mineral dan bahan bakar. Pada tahun 2005 memimpin dalam hal produksi dari komoditi mineral seperti aluminum; arsenic; asbestos; bauxite; boron; cadmium; cement; coal; cobalt; copper; diamond; fluorspar; gold; iron ore; lime; lithium; magnesium compounds and metals; mica scrap, sheet, and flake; natural gas; nickel; nitrogen; oil shale; palladium; peat; petroleum; phosphate; pig iron; potash; rhenium; silicon, steel; sulfur; titanium sponge; tin; tungsten; and vanadium. Pada tahun 2005 nilai dari barang tambang dan bahan baker minyak meningkat 3%, disbanding dengan tahun 2004 dan pada tahun ini harga barang tambang adan bahan baker minyak terus cenderung naik.
Produksi didalam pengolahan sektor mineral ini adalah sangat terpusat karena Negara ini adalah Negara komunis. Lebih dari 10 mineral ini dikuasai oleh satu perusahaan misalnya, Gazprom menguasai hamper seluruh produksi natural gas di Russia, Noril’sk Nickel Mining and Metallurgical Company (MMC) memproduksi hampir lebih dari 90% dari Russian nickel dan platinum-group metals (PGM), dan ALROSA Company Ltd.
Rusia ini walau berada didaerah yang tidak banyak sinar mataharinya, dia mempunyai banyak sekali bahan tamabang baik itu logam, mineral maupun bahn baker minyak seperti aluminum; arsenic; asbestos; bauxite; boron; cadmium; cement; coal; cobalt; copper; diamond; fluorspar; gold; iron ore; lime; lithium; magnesium compounds and metals; mica scrap, sheet, and flake; natural gas; nickel; nitrogen; oil shale; palladium; peat; petroleum; phosphate; pig iron; potash; rhenium; silicon, steel; sulfur; titanium sponge; tin; tungsten; and vanadium. Yang semua ini karena pengaruh adanya platform
Karena Negara rusia adalah merupakan salah satu Negara yang sudah maju IPTEKnya dan juga SDMnya yang membuat mereka dapat mengeksploitasi semua kekayaan alamnya terutama barang tambang mineralnya, sehingga membuat rusia menjadi Negara industri walaupun berada didaerah lintang tinggi yang sering tertutupi oleh salju.
Berakhirnya Perang Dingin antara Uni Soviet dan Amerika Serikat ditandai dengan runtuhnya hegemoni Uni Soviet pada tahun 1991. Keruntuhan ini mau tak mau memunculkan negara-negara baru seperti Rusia salah satunya yang notabene merupakan bekas negara yang berada di bawah supremasi Uni Soviet. Sebagai negara yang baru, bukan perkara mudah bagi negara-negara baru ini untuk bertahan di tengah-tengah negara-negara yang sebelumnya telah lebih dulu merangkul kedaulatannya. Sebagai salah satu dari negara pecahan dari Uni Soviet, dalam hal kewilayahannya, Rusia mendapatkan lebih banyak wilayah teritori dibanding negara-negara pecahan Uni Soviet lainnya. ‘keistimewaan’ yang dimiliki oleh Rusia ini membuat negara Rusia didaulat sebagai negara yang diharapkan mampu meneruskan tampuk kekuasaan Uni Soviet seperti sedia kala. Namun, faktor dan tantangan apa saja yang dihadapi oleh negara ini dalam aspek geopolitik dan geostrateginya? Kemudian, Rusia yang memang tampak lebih superior di banding negara-negara pecahan Uni Soviet lainnya, menjalankan geostrateginya ke negara-negara seperti Ukraina, Georgia, Ex-Yugoslavia dan Commonwealth Independent State (CIS). Lantas, mengapa negara-negara tersebut ? Bagaimanakah geostrateginya?
 Semasa kejayaannya, Uni Soviet secara geografis memiliki luas wilayah yang cukup besar dan luas. Di dalam wilayah Uni Soviet terdapat kekayaan alam dan sumber daya alam dalam sektor energy yang begitu melimpah. Maka tak heran mengapa Uni Soviet sempat dinobatkan sebagai heartland oleh Mackinder dan sempat menjadi incaran Jerman yang haus akan kekuasaan saat itu. Perpecahan Uni Soviet pada akhirnya membuat Rusia menjadi negara yang memiliki sumber daya yang terbatas. Tidak seperti sedia kala. Pada dasarnya penerapan geopolitik baik milik Rusia maupun Uni Soviet, oleh O’Luoghlin dan Talbort (2005) dinyatakan tidaklah berbeda jauh. Dapat dilihat bahwasanya disini alasan utama geopolitik Rusia adalah demi pemenuhan kebutuhan sumber daya energi serta sebagai suatu upaya untuk pembentukan  identitas superior di atas tanah pecahan Uni Soviet tersebut dan mendapatkan pengakuan atas hal tersebut tak hanya dari sesama negara pecahan Uni Soviet, tetapi juga dunia. Dapat dilihat bahwasanya Rusia berhasil memenuhi kepentingannya tersebut. Demi melancarkan dan memuluskan kepentingannya, Rusia lantas membentuk program pembangunan pemukiman Rusia. Tujuan dari pembangunan pemukiman ini adalah untuk melakukan reunifikasi bagi seluruh warga Rusia dan Slavia Timur, Belarusia, Kazakhstan utara, serta Siberia Selatan (O’Loughlin & Talbort, 2005: 24).
Nomor dua setelah Arab Saudi, Rusia dikenal sebagai produsen minyak terbesar di dunia. Rusia juga dikenal memiliki kekayaan alam berupa gas alam yang cukup melimpah. Kendatipun demikian, Rusia ternyata enggan untuk bergabung dengan Organisasi Negara Pengekspor Minyak (Organization of Petroleum Exporting Countries – OPEC), sekalipun Rusia cukup kaya minyaknya. Untuk mengantisipasi kemungkinan terburuk, Rusia kemudian benar-benar memfungsikan sektor energy minyak dan gas alam tersebut secara maksimal serta menjadi distributor sekaligus supplier sumber energy minyak dan gas di seluruh negara di Eropa (O’Loughlin & Talbort, 2005). Hal ini sebenarnya merupakan sebuah strategi, yang baik memang berada di posisi strategis ataupun memang dirancang demikian, yang kemudian digunakan untuk sebagai pengaman kepentingan yang berbalut aspek politik dari Rusia kepada negara-negara tetangga. Negara tetangga di sini juga termasuk di Asia, bukan hanya Eropa karena Rusia juga sangat berdekatan dengan Asia. Bahkan beberapa wilayahnya berada satu daratan dengan Asia. Kekuatan Rusia, eksternal khususnya, semakin diperkuat dengan  keberadaan negara-negara CIS yang menjadi wilayah penyeimbang di wilayah eksternal Rusia. Walaupun demikian, hubungan CIS dengan Rusia tidak dapat dikatakan selalu harmonis karena sejak dari terbentuknya hingga saat ini Rusia tidak pernah menyatakan diri bergabung secara gamblang. Pro dan kontra dari negara CIS terhadap Rusia juga ada. Dapat dilihat dari adanya beberapa negara CIS yang mendukung Rusia, sementara beberapa negara CIS yang lainnya lebih memilih bekerjasama dengan Shanghai Cooperation Organization (SCO) atau North of Atlantic Treaty Organization (NATO) (O’Loughlin & Talbort, 2005).
Pada pertemuan mata kuliah Geopolitik dan Geostrategi sebelum-sebelumnya, telah diketahui bahwa di era globalisasi ini, fokus geopolitik pun turut bergeser. Bila masyarakat meyakini  Uni Soviet sebagai Heartland yang harus ditaklukan, maka untuk saat ini, fokusnya beralih pada Asia. Terlebih pada Asia Tengah. Maka tak heran kemudian Rusia pun juga menganggap Asia Tengah memiliki arti yang sangat strategis baginya. Bahkan sebelum menjadi Rusia, Uni Soviet pun mati-matian memperebutkan wilayah Asia Tengah dengan Inggris. Asia Tengah selalu menjadi layaknya gudang emas dimata negara-negara besar di dunia. Itulah mengapa banyak negara berlomba-lomba untuk berusaha mempengaruhi serta mengambil alih pemerintahan baik internal maupun eksternal dari Asia Tengah. Tak jarang negara besar di dunia ini memanfaatkan isu kemanusiaan serta isu terorisme sebagai alasannya untuk melakukan intervensi yang seolah-olah berkedok kemanusiaan. Padahal dibalik itu semua, terdapat motif inginnya penguasaan wilayahnya, misalnya saja Amerika Serikat yang begitu getolnya memfokuskan diri pada pengawasan di tanah Timur Tengah dengan alasan-alasan tersebut dan memanfaatkan seremeh-remehnya momen untuk menohok negara di Asia Tengah tersebut(merujuk pada pembahasan Geopolitik dan Geostrategi Amerika Serikat).. Begitu pula bagi Rusia. Rusia begitu getolnya untuk melakukan penyebaran pengaruh kepada negara-negara di Asia Tengah untuk dapat mendapatkan apa yang menjadi kepentingannya dari Asia Tengah tersebut. Yakni sumber Energi Minyak dan Gas.
Kawasan lain yang memiliki arti penting dan strategis bagi Rusia adalah Georgia. Bila dilihat secara geografisnya, sebagian wilayah Georgia terletak pada benua Eropa dan sebagian yang lainnya terletak pada benua Asia. Secara teritori, Georgia di bagian Timur berbatasan dengan Laut Hitam dan di bagian Selatan berbatasan dengan Pegunungan Kaukus (dalam http://jcpa.org). Berawal dari keberhasilan kekaisaran Rusia memenangkan Perang Kaukasus yang bergejolak pada tahun 1817 hingga 1864 membuat Rusia menjadi sedikit banyaknya menjadi terlibat di dalam negara Georgia karena kekaisaran Rusia berhasil memenangkan negara Georgia. Seperti negara-negara di bawah Uni Soviet lainnya, setelah keruntuhan Uni Soviet, Georgia kemudian pada tanggal 9 April 1991 mendeklarasikan kemerdekaannya. Walaupun pernah menjadi satu kesatuan di dalam tubuh Uni Soviet, tidak lantas membuat hubungan Rusia dan Georgia menjadi harmonis. Seringkalinya terjadi ketegangan antara Georgia dan Rusia, seperti yang terjadi pada tahun 2008 yang mana konflik antara kedua berujung pada terjadinya peperangan walaupun hanya terjadi selama tiga hari (dalam http://jcpa.org). Berawal dari serangan Rusia ke Ossetia yang dilancarkan pada bulan Agustus 2008, inti permasalahan konflik keduanya sebenarnya adalah perebutan wilayah Abkhazia dan Ossetia Selatan oleh Rusia dan Georgia. Georgia ini sendiri merupakan jalur ekspor gas yang mana gas tersebut berasal dari Turkmenistan. Untuk mendapatkan gas dari atau ke Turkmenistan, di jalur Barat memang harus melintasi Georgia sebelum akhirnya menuju Turki atau Eropa (dalam http://jcpa.org).
Pada akhirnya, geopolitik dan geostrategi milik Rusia lagi-lagi dilatarbelakangi oleh adanya kepentingan akan sumber energi yang berupa minyak dan gas bumi. Serta sebagai negara pecahan Uni Soviet yang paling ‘kaya’, Rusia menginginkan adanya pembentukan identitas serta pengakuan atas supremasinya seperti pada era keemasan Uni Soviet karena kenyataan bahwa Rusia perlahan-lahan akan kehilangan ‘warisan tahta’ dari Uni Soviet sehubungan dengan bangkitnya kekuatan India dan Cina serta negara-negara Asia lainnya yang perlahan namun pasti merangkak naik. Karena itu, Rusia mengikat geopolitiknya di negara-negara pecahan seperti Georgia, Balkan, dan lain sebagainya yang memiliki sumber daya terkait. Sekalipun tidak memiliki sumber daya energy terkait, negara-negara tersebut merupakan jalur emas yang pasti dilalui sebelum menuju ke sumber energi. Adapun geostrategi yang dirancang oleh Rusia antara lain adalah pembangunan akses minyak dan pipa gas. Serta, terkait dengan keinginan menjadi superiornya, Rusia memiliki kontrol penuh atas media, pembangunan pemukiman Rusia yang juga mampu mereunifikasi antara Rusia dengan Belarusia, Slavia Timur, Kazakhstan Utara, serta Siberia Selatan.