16 Mei 2014

PERBANDINGAN SISTEM POLITIK INDONESIA DENGAN SISTEM POLITIK MALAYSIA



BAB I
PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG
Sebuah sistem pemerintahan dibuat demi terselenggaranya pemerintahan negara yang mampu mewujudkan tujuan sebuah bangsa, yaitu masyarakat yang adil, makmur dan sejahtera. Untuk itulah, pemerintah bertugas mengatur dan mengarahkan kehidupan bersama dengan cara membuat hukum, melaksanakan dan menegakkannya, serta melakukan upaya-upaya lain demi terwujudnya kesejahteraan rakyat.
Dalam kenyataan, tidak setiap sistem pemerintahan  dapat berjalan sesuai harapan itu. Masalahnya mungkin terletak pada pengaturan sistem pemerintahan yang belum sempurna atau lengkap. Namun kemungkinan pula penyebabnya adalah ketidakmampuan para pejabat dalam melaksanakan sistem itu, atau kesengajaan pejabat pemerintah menyalahgunakan wewenang. dilain pihak, mungkin pula rakyat sendiri memang tidak siap mendukung sistem pemerintahan yang berlaku.
Satu hal yang harus di ingat adalah bahwa pelaksanaan sebuah sistem pemerintahan tidak berlangsung dalam ruang kosong. Pelaksanaan sistem pemerintahan dalam suatu negara sangat dipengaruhi antara lain oleh: (a) komitmen elite politik terhadap sistem politik yang hendak diwujudkan; (b) sistem kepartaian yang telah berkembang di negara yang telah bersangkutan  (c) tradisi politik yang telah berkembang dinegara yang telah bersangkutan dan (d) budaya politik dominan dimasyarakat yang bersangkutan.
B.      RUMUSAN MASALAH
Adapun rumusan masalah dari makalah ini adalah:
a.       Apa pengertian dari sistem politik?
b.      Bagaimana sistem politik Indonesia?
c.       Bagaimana sistem politik Malaysia?
d.      Bagaimana perbandingan antara sistem politik Indonesia dengan Malaysia?


C.     TUJUAN
sejalan dengan rumusan masalah diatas, maka yang menjadi tujuan penulisan adalah:
a.       Untuk mengetahui pengertian sistem politik.
b.      Untuk mengetahui keadaan sistem politik Indonesia.
c.       Untuk mengetahui keadaan sistem politik Malaysia.
d.      Untuk mengetahui perbedaan antara sistem politik Indonesia dengan Malaysia.















BAB II
PEMBAHASAN
A.    PENGERTIAN SISTEM POLITIK
Pengertian sistem politik menurut David Easton masih memegang posisi kunci dalam studi politik negara. Pengertian struktural fungsional dari Gabriel Almond mempertajam konsep David Easton tersebut. Sistem adalah kesatuan seperangkat struktur yang memiliki fungsi masing-masing yang bekerja untuk mencapai tujuan tertentu. Sistem politik adalah kesatuan (kolektivitas) seperangkat struktur politik yang memiliki fungsi masing-masing yang bekerja untuk mencapai tujuan suatu negara. Pendekatan sistem politik ditujukan untuk memberi penjelasan yang bersifat ilmiah terhadap fenomena politik. Pendekatan sistem politik dimaksudkan juga untuk menggantikan pendekatan klasik ilmu politik yang hanya mengandalkan analisis pada negara dan kekuasaan. Pendekatan sistem politik diinspirasikan oleh sistem yang berjalan pada makhluk hidup (dari disiplin biologi).
Dalam pendekatan sistem politik, masyarakat adalah konsep induk oleh sebab sistem politik hanya merupakan salah satu dari struktur yang membangun masyarakat seperti sistem ekonomi, sistem sosial dan budaya, sistem kepercayaan dan lain sebagainya. Sistem politik sendiri merupakan abstraksi (realitas yang diangkat ke alam konsep) seputar pendistribusian nilai di tengah masyarakat.
Seperti telah dijelaskan, masyarakat tidak hanya terdiri atas satu struktur (misalnya sistem politik saja), melainkan terdiri atas multi struktur. Sistem yang biasanya dipelajari kinerjanya adalah sistem politik, sistem ekonomi, sistem agama, sistem sosial, atau sistem budaya-psikologi. Dari aneka jenis sistem yang berbeda tersebut, ada persamaan maupun perbedaan. Perbedaan berlingkup pada dimensi ontologis (hal yang dikaji) sementara persamaan berlingkup pada variabel-variabel (konsep yang diukur) yang biasanya sama antara satu sistem dengan lainnya.
Untuk memahami sistem politik Indonesia, layaknya kita memahami sistem-sistem lain, maka harus kita ketahui beberapa variabel kunci. Variabel-variabel kunci dalam memahami sebuah sistem adalah adalah struktur, fungsi, aktor, nilai, norma, tujuan, input, output, respon, dan umpan balik.
Struktur adalah lembaga politik yang memiliki keabsahan dalam menjalankan suatu fungsi sistem politik. Dalam konteks negara (sistem politik) misal dari struktur ini struktur input, proses, dan output. Struktur input bertindak selaku pemasok komoditas ke dalam sistem politik, struktur proses bertugas mengolah masukan dari struktur input, sementara struktur output bertindak selaku mekanisme pengeluarannya. Hal ini mirip dengan organisme yang membutuhkan makanan, pencernaan, dan metabolisme untuk tetap bertahan hidup.
Struktur input, proses dan output umumnya dijalankan oleh aktor-aktor yang dapat dikategorikan menjadi legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Ketiga aktor ini menjalankan tugas kolektif yang disebut sebagai pemerintah (government). Namun, setiap aktor yang mewakili struktur harus memiliki fungsi yang berbeda-beda: Tidak boleh suatu fungsi dijalankan oleh struktur yang berbeda karena akan menimbulkan konflik kepentingan. Ini pun merupakan dasar dari disusunnya konsep Trias Politika (pemisahan kekuasaan) seperti digagas para pionirnya di masalah abad pencerahan seperti John Locke dan Montesquieu.
Nilai adalah komoditas utama yang berusaha didistribusikan oleh struktur-struktur di setiap sistem politik yang wujudnya adalah: (1) kekuasaan, (2) pendidikan atau penerangan; (3) kekayaan; (4) kesehatan; (4) keterampilan; (5) kasih sayang; (6) kejujuran dan keadilan; (7) keseganan, respek.[1] Nilai-nilai tersebut diasumsikan dalam kondisi yang tidak merata persebarannya di masyarakat sehingga perlu campur tangan struktur-struktur yang punya kewenangan (otoritas) untuk mendistribusikannya pada elemen-elemen masyarakat yang seharusnya menikmati. Struktur yang menyelenggarakan pengalokasian nilai ini, bagi Easton, tidak dapat diserahkan kepada lembaga yang tidak memiliki otoritas: Haruslah negara dan pemerintah sebagai aktornya.
Norma adalah peraturan, tertulis maupun tidak, yang mengatur tata hubungan antar aktor di dalam sistem politik. Norma ini terutama dikodifikasi di dalam konstitusi (undang-undang dasar) suatu negara. Setiap konstitusi memiliki rincian kekuasaan yang dimiliki struktur input, proses, dan output. Konstitusi juga memuat mekanisme pengelolaan konflik antar aktor-aktor politik di saat menjalankan fungsinya, dan menunjuk aktor (sekaligus) lembaga yang memiliki otoritas dalan penyelesaikan konflik. Setiap negara memiliki norma yang berlainan sehingga konsep norma ini dapat pula digunakan sebagai parameter dalam melakukan perbandingan kerja sistem politik suatu negara dengan negara lain.
Tujuan sistem politik, seperti halnya norma, juga terdapat di dalam konstitusi. Umumnya, tujuan suatu sistem politik terdapat di dalam mukadimah atau pembukaan konstitusi suatu negara. Tujuan sistem politik Indonesia termaktub di dalam Pembukaan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, sementara tujuan sistem politik Amerika Serikat termaktub di dalam Declaration of Independence.
Input dan output adalah dua fungsi dalam sistem politik yang berhubungan erat. Apapun output suatu sistem politik, akan dikembalikan kepada struktur input. Struktur input akan bereaksi terhadap apapun output yang dikeluarkan, yang jika positif akan memunculkan dukungan atas sistem, sementara jika negatif akan mendampak muncul tuntutan atas sistem. Umpan balik (feedback) adalah situasi di mana sistem politik berhasil memproduksi suatu keputusan ataupun tindakan yang direspon oleh struktur output.
Analisis mengenai kinerja sistem politik sering merujuk pada teorisasi yang disusun oleh David Easton. Uraian Easton mengenai sistem politik kendati abstrak dan luas tetapi unggul dalam pencakupannya. Artinya, teori Easton ini mampu menggambarkan kinerja sistem politik hampir secara holistik dan sebab itu sering disebut sebagai grand theory. Uraian Easton juga bersifat siklis, dalam arti sebagai sebuah sistem, sistem politik dipandang sebagai sebuah ­organisme hidup yang mencukupi kebutuhan-kebutuhan hidupnya sendiri, mengalami input, proses, output, dan dikembalikan sebagai feedback kepada struktur input. Struktur input kemudian merespon dan kembali menjadi input ke dalam sistem politik. Demikian proses tersebut berjalan berputar selama sistem politik masih eksis.
Pemikiran sistem politik Easton juga tidak terlepas dari pandangan umum ilmu sosial yang berkembang saat ia menyusun teorinya pada kurun 1953 hingga 1965. Era tersebut diwarnai paradigma ilmu sosial mainstream yang bercorak fungsionalisme. Dalam fungsionalisme suatu sistem dianggap memiliki kecenderungan menciptakan ekuilibrium, adaptasi, dan integrasi dalam kerja struktur-strukturnya. Layaknya tubuh manusia – di mana organ tangan, kaki, kepala, perut, dan lainnya – sistem politik pun memiliki aneka struktur yang fungsi-fungsinya satu sama lain berbeda, saling bergantung, dan bekerja secara harmonis dalam mencapai tujuan dari sistem tersebut.
Namun, pendekatan Easton ini kurang sempurna untuk diaplikasikan sebagai alat analisis sistem politik di dalam skala mikro, yang meliputi perilaku politik individu dan lembaga-lembaga yang tidak secara formal merepresentasikan suatu fungsi di dalam sistem politik. Kekurangan ini lalu dimodifikasi oleh koleganya, Gabriel Abraham Almond. Almond (bersama James Coleman) ini terutama mengisi abstraknya penjelasan Easton mengenai struktur, fungsi, kapabilitas pemerintah, fungsi pemeliharaan dan adaptasi, serta dimensi perilaku warganegara dalam kehidupan mikro politik sehari-hari sistem politik. Almond tetap bekerja menggunakan skema besar sistem politik Easton, tetapi melakukan pendalaman analisis atas level individual di dalam negara.
Analisis sistem politik Indonesia di dalam buku ini menggunakan bangunan teori Easton sebagai kerangka makro dan Almond sebagai kerangka mikro. Keduanya akan digunakan secara komplementatif. Komplementasi konsep Easton oleh Almond ini diantaranya telah ditulis secara baik dan sistematis oleh Ronald H. Chilcote.[2] 
B.     KAPABILITAS SISTEM POLITIK
Level kedua dari aktivitas sistem politik terletak pada fungsi-fungsi kemampuan. Kemampuan suatu sistem politik menurut Almond terdiri atas kemampuan regulatif, ekstraktif, distributif, simbolis, dan responsif.
Kemampuan ekstraktif adalah kemampuan sistem politik dalam mendayagunakan sumber-sumber daya material ataupun manusia baik yang berasal dari lingkungan domestik (dalam negeri) maupun internasional.[19] Dalam hal kemampuan ekstraktif ini Indonsia lebih besar ketimbang Timor Leste, karena faktor sumber daya manusia maupun hasil-hasil alam yang dimilikinya. Namun, kemampuan Indonesia dalam konteks ini lebih kecil ketimbang Cina.
Kemampuan regulatif adalah kemampuan sistem politik dalam mengendalikan perilaku serta hubungan antar individu ataupun kelompok yang ada di dalam sistem politik. Dalam konteks kemampuan ini sistem politik dilihat dari sisi banyaknya regulasi (undang-undang dan peraturan) yang dibuat serta intensitas penggunaannya karena undang-undang dan peraturan dibuat untuk dilaksanakan bukan disimpan di dalam laci pejabat dan warganegara. Selain itu, kemampuan regulatif berkaitan dengan kemampuan ekstraktif di mana proses ekstraksi membutuhkan regulasi.
Kemampuan distributif adalah kemampuan sistem politik dalam mengalokasikan barang, jasa, penghargaan, status, serta nilai-nilai (misalnya seperti nilai yang dimaksud Lasswell) ke seluruh warganegaranya. Kemampuan distributif ini berkaitan dengan kemampuan regulatif karena untuk melakukan proses distribusi diperlukan rincian, perlindungan, dan jaminan yang harus disediakan sistem politik lewat kemampuan regulatif-nya.
Kemampuan simbolik adalah kemampuan sistem politik untuk secara efektif memanfaatkan simbol-simbol yang dimilikinya untuk dipenetrasi ke dalam masyarakat maupun lingkungan internasional. Misalnya adalah lagu-lagu nasional, upacara-upacara, penegasan nilai-nilai yang dimiliki, ataupun pernyataan-pernyataan khas sistem politik. Simbol adalah representasi kenyataan dalam bahasa ataupun wujud sederhana dan dapat dipahami oleh setiap warga negara. Simbol dapat menjadi basis kohesi sistem politik karena mencirikan identitas bersama. Salah satu tokoh politik Indonesia yang paling mahir dalam mengelola kemampuan simbolik ini adalah Sukarno dan pemerintah Indonesia di masa Orde Baru.
Kemampuan responsif adalah kemampuan sistem politik untuk menyinkronisasi tuntutan yang masuk melalui input dengan keputusan dan tindakan yang diambil otoritas politik di lini output. Sinkronisasi ini terjadi tatkala pemerintahan SBY mampu melakukan sinkronisasi antara tuntutan pihak Gerakan Aceh Merdeka dengan keputusan untuk melakukan perundingan dengan mereka serta melaksanakan kesepakatan Helsinki hasil mediasi. Sinkronisasi ini membuat tuntutan dari Aceh tidak lagi meninggi kalau bukan sama sekali lenyap.
Almond menyebutkan bahwa pada negara-negara demokratis, output dari kemampuan regulatif, ekstraktif, dan distributif lebih dipengaruhi oleh tuntutan dari kelompok-kelompok kepentingan sehingga dapat dikatakan bahwa masyarakat demokratis memiliki kemampuan responsif yang lebih tinggi ketimbang masyarakat non demokratis. Sementara pada sistem totaliter, output yang dihasilkan kurang responsif pada tuntuan, perilaku regulatif bercorak paksaan, serta lebih menonjolkan kegiatan ekstraktif dan simbolik maksimal atas sumber daya masyarakatnya.

C.     POLITIK INDONESIA
Indonesia adalah sebuah negara hukum yang berbentuk kesatuan dengan pemerintahan berbentuk republik dan sistem pemerintahan presidensial dengan sifat parlementer. Indonesia tidak menganut sistem pemisahan kekuasaan melainkan pembagian kekuasaan. Walaupun ± 90% penduduknya beragama Islam, Indonesia bukanlah sebuah negara Islam.
Cabang eksekutif dipimpin oleh seorang presiden yang merupakan kepala negara sekaligus kepala pemerintahan yang dibantu oleh seorang wakil presiden yang kedudukannya sebagai pembantu presiden di atas para menteri yang juga pembantu presiden. Kekuasaan legislatif dibagi di antara dua kamar di dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat/MPR yaitu, Dewan Perwakilan Rakyat/DPR dan Dewan Perwakilan Daerah/DPD. Cabang yudikatif terdiri dari Mahkamah Agung/MA yang dan sebuah Mahkamah Konstitusi/MK yang secara bersama-sama memegang kekuasaan kehakiman. Kekuasaan Inspektif dikendalikan oleh Badan Pemeriksa Keuangan yang memiliki perwakilan di setiap provinsi dan kabupaten/kota di seluruh wilayah Republik Indonesia.
Indonesia terdiri dari 33 provinsi yang memiliki otonomi, 5 di antaranya memiliki status otonomi yang berbeda, terdiri dari 3 Daerah Otonomi Khusus yaitu Aceh, Papua, dan Papua Barat; 1 Daerah Istimewa yaitu Yogyakarta; dan 1 Daerah Khusus Ibu kota yaitu Jakarta. Setiap provinsi dibagi-bagi lagi menjadi kota/kabupaten dan setiap kota/kabupaten dibagi-bagi lagi menjadi kecamatan/distrik kemudian dibagi lagi menjadi keluarahan/desa/nagari hingga terakhir adalah rukun tetangga.
Pemilihan Umum diselenggarakan setiap 5 tahun untuk memilih anggota DPR, anggota DPD, dan anggota DPRD yang disebut pemilihan umum legislatif (Pileg) dan untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden atau yang disebut pemilihan umum presiden (Pilpres). Pemilihan Umum di Indonesia menganut sistem multipartai.
Ada perbedaan yang besar antara sistem politik Indonesia dan negara demokratis lainnya di dunia. Di antaranya adalah adanya Majelis Permusyawaratan Rakyat yang merupakan ciri khas dari kearifan lokal Indonesia, Mahkamah Konstitusi yang juga berwenang mengadili sengketa hasil pemilihan umum, bentuk negara kesatuan yang menerapkan prinsip-prinsip federalisme seperti adanya Dewan Perwakilan Daerah, dan sistem multipartai berbatas di mana setiap partai yang mengikuti pemilihan umum harus memenuhi ambang batas 2.5% untuk dapat menempatkan anggotanya di Dewan Perwakilan Rakyat maupun di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah/DPRD Kabupaten/Kota.
D.    POLITIK MALAYSIA
Malaysia mengamalkan sistem demokrasi berparlimen di bawah pentadbiran raja berperlembagaan. Malaysia diketuai oleh Seri Paduka Baginda Yang di-Pertuan Agong yang dipilih daripada sembilan sultan negeri Melayu untuk berkhidmat selama lima tahun sebagai Ketua Negara dan Pemerintah Tertinggi Angkatan Tentera.
Sistem ini adalah berdasarkan sistem Westminster kerana Malaysia merupakan bekas tanah jajahan British. Kuasa eksekutif ditetapkan oleh kabinet yang dipimpin oleh Perdana Menteri. Berdasarkan perlembagaan Malaysia, Perdana Menteri mestilah seorang anggota Dewan Rakyat, yang pada pendapat Yang di-Pertuan Agong, memimpin kumpulan majoriti dalam parlimen. Manakala kabinet merupakan ahli parlimen yang dipilih daripada Dewan Rakyat atau Dewan Negara.
Malaysia mengamal sistem parlimen dwidewan: Dewan Rakyat dan Dewan Negara. Dewan Negara mempunyai 70 orang yang terpilih selama 3 tahun. Pemilihan ahlinya boleh dibahagikan kepada dua: 26 ahli dipilih oleh Dewan Undangan Negeri sebagai mewakili 13 negeri. 44 ahli lagi dilantik oleh Seri Paduka Baginda Yang di-Pertuan Agong atas nasihat Perdana Menteri, termasuk dua ahli dari Wilayah Persekutuan Kuala Lumpur, dan satu ahli masing-masing dari Wilayah Persekutuan Labuan dan Putrajaya.
Dewan Rakyat pula mempunyai seramai 222 ahli, dan setiap ahli mewakili satu kawasan pilihan raya. Ahli-ahli dipilih atas dasar sokongan ramai melalui pilihan raya. Setiap ahli Dewan Rakyat memegang jawatan selama 5 tahun, dan selepas itu pilihan raya yang baru akan diadakan.
Kuasa perundangan dibahagikan di antara kerajaan persekutuan dengan kerajaan negeri. Ini ditentukan oleh parlimen. Undang-undang tertinggi ialah Perlembagaan Malaysia dan ia memerlukan majoriti dua pertiga untuk diubah. Walau bagaimanapun, peratusan ahli pihak pemerintah sentiasa melebihi nisbah ini. Undang-undang kedua ialah undang-undang syariah yang menumpukan pada orang Islam di Malaysia. Sultan merupakan ketua agama Islam dan kuasa ini tertakluk kepada baginda kerajaan negeri. tidak memeranjatkan, undang-undang syariah ini agak berbeza mengikut negeri.
Sistem legaliti Malaysia berasaskan undang-undang British. Walau bagaimanapun, kebanyakan daripada undang-undang dan konstitusi telah diambil dari undang-undang India. Mahkamah Persekutuan mengkaji kembali keputusan yang rujuk daripada Mahkamah Rayuan; ia mempunyai jurisdiksi asal dalam hal-hal konstitusi dan dalam perselisihan di antara negeri-negeri atau di antara kerajaan persekutuan dan sesuatu negeri. Semenanjung Malaysia, Sabah dan Sarawak setiap satunya mempunyah mahkamah tinggi. Kerajaan Persekutuan mempunyai autoriti terhadap hal-hal luar negara, pertahanan, keselamatan dalam negeri, keadilan (kecuali kes-kes undang-undang sivil di kalangan orang Melayu dan orang-orang Muslims yang lain dan juga orang-orang asli, yang diletakkan di bawah undang-undang Islam dan tra tradisi), warganegara persekutuan, kewangan, perdagangan, industri, komunikasi, pengangkutan, dan hal-hal lain.
Malaysia mengamalkan sistem politik berbilang parti sejak pilihan raya pertama pada tahun 1955, berasaskan konsep "siapa cepat dia dapat" (first-past-the-post). Parti politik utama Malaysia, Pertubuhan Kebangsaan Melayu Bersatu (UMNO), telah memegang kuasa bersama parti - parti yang lain sejak kemerdekaan Malaya pada 1957. Pada 1973, perikatan parti yang berasaskan kepada kaum telah digantikan dengan perikatan yang lebih besar -- Barisan Nasional-- yang mempunyai 14 parti. Hari ini perikatan Barisan Nasional mempunyai tiga komponen penting - UMNO, MCA (Persatuan Cina Malaysia) and MIC (Kongres India Malaysia). Perdana Menteri Malaysia adalah ahli daripada parti Melayu (UMNO) di dalam perikatan Barisan National.
Proses politik di Malaysia boleh digambarkan sebagai mengambil bentuk "perkongsian kuasa"/(Konsosialisme)" yang mana "kepentingan bersama boleh diselesaikan di dalam satu rangka kerja campuran yang besar"[1] . Di dalam buku Government and Politics in Southeast Asia' cabang eksekutif cenderung untuk mendominasi aktiviti politik, dengan pejabat Perdana Menteri menjadi satu kedudukan untuk mempengerusikan "sekumpulan kuasa yang semakin membesar dan meluas supaya tindakan dapat diambil terhadap individu atau organisasi," dan "memudahkan peluang perniagaan". Pada umumnya kritikan-kritikan mengakui walaupun autoritorianisme di Malaysia melangkaui pentadbiran Mahathir bin Mohamad, beliau juga adalah orang yang "membawa proses berkenaan kehadapan dengan berkesan"
Sarjana undang-undang mencadangkan bahawa secara politiknya "persamaan bagi keharmonian agama dan bangsa" adalah sangat rapuh, dan "kerapuhan ini berpunca daripada identifikasi agama dan bangsa berpasangan dengan ketuanan Melayu orang-orang Melayu bertembung dengan cita-cita bangsa lain bagi mendapatkan persamaan hak."
Seperti kehendak segelintir masyarakat Muslim terdiri daripada majoriti Melayu mewujudkan sebuah negara Islam, desakan bukan Melayu untuk hak samarata adalah sesuatu daripada perlembagaan tidak dapat disesuaikan. Bagi desakan yang mencucuk dalam suatu sistem politik— satu sistem yang berdasarkan kecemerlangan politik orang Melayu. Satu desakan yang mencabar punca kuasa autoriti pemerintahan orang Melayu.
Pada awal September 1998, Perdana Menteri pada waktu itu, Dato' Seri Mahathir bin Mohamad telah memecat Timbalan Perdana Menterinya, Dato' Seri Anwar Ibrahim di atas tuduhan melakukan perbuatan tidak bermoral [2] dan juga korupsi. Anwar mengatakan bahawa penyingkirannya adalah kerana perbezaan politik antaranya dan Mahathir. Beliau telah melancarkan beberapa siri tunjuk perasaan untuk mendesak diadakan reformasi pada sistem politik Malaysia. Kemudiannya, Anwar telah ditangkap, dipukul ketika ditahan di penjara (termasuk dipukul oleh Ketua Polis Negara), dan didakwa dengan kesalahan melakukan rasuah, dalam kedua-dua konteks undang-undang dan moral, pendakwaan-pendakwaan termasuklah halangan keadilan dan liwat. Pada bulan April 1999, beliau telah didapati bersalah kepada empat pendakwaan korupsi dan telah dijatuhkan penjara selama 6 tahun. Pada bulan Ogos 2000, Anwar telah didapati bersalah pada pendakwaan liwat dan telah dijatuhkan 9 tahun berturut-turut selepas kesalahan yang dijatuhkan selama 6 tahun tersebut. Kedua-dua perbicaraan telah dipandang oleh pemerhati tempatan dan antarabangsa sebagai tidak adil. Sabit kesalahan Anwar terhadap kes liwat telah ditukar menjadi sebaliknya, dan beliau telah menyempurnakan 6 tahun penjara bagi korupsi, beliau telah dibebaskan daripada penjara. Dalam pilihan raya umum November 1999, Barisan Nasional telah kembai berkuasa dengan tiga perempat daripada keseluruhan kerusi parlimen, tetapi kerusi UMNO telah jatuh dari 94 ke 72. Pakatan pembangkang Barisan Alternatif, yang telah diketuai oleh Parti Islam Se-Malaysia (PAS), telah meningkatkan kerusinya kepada 42. PAS kembali mengawal kerajaan negeri Kelantan dan telah memenangi kerajaan negeri Terengganu.
Perdana menteri kini adalah Dato' Seri Abdullah Ahmad Badawi (lebih mesra dipanggil sebagai 'Pak Lah'). Beliau mengambil alih pentadbiran berikutan persaraan Dr. Mahathir (sekarang Tun Dr. Mahathir) pada 31 Oktober 2003. Abdullah Badawi dilihat sebagai tokoh yang lebih bertolak ansur dan lemah-lembut jika dibandingkan dengan Tun Dr. Mahathir yang gayanya lebih berterus terang dan bersifat konfrontasi. Beliau berikrar untuk meneruskan dasar-dasar berorientasikan agenda pembangunan Tun Dr. Mahathir, sementara itu membuat kurang kenyataan pengistiharan berkaitan dasar luar berbanding Tun Dr. Mahathir, yang kerap kali menyelar negara-negara barat, iaitu Amerika Syarikat dan Australia secara khusus.
Dalam pilihan raya umum pada Mac 2004, Dato' Seri Abdullah Ahmad Badawi mengetuai Barisan Nasional untuk mencapai keputusan undi yang besar, yang mana Barisan Nasional mendapat semula negeri Terengganu. Kini kerajaan campuran menguasai 92% kerusi dalam Parlimen. Pada tahun 2005, Dr. Mahathir telah menyatakan "Saya percaya negara ini harus mempunyai kerajaan yang kuat tetapi tidak terlalu kuat. Suatu majoriti dua pertiga seperti yang saya nikmati ketika saya merupakan perdana menteri adalah cukup tetapi suatu majoriti sebanyak 90% adalah terlalu kuat... Kami memerlukan parti pembangkang untuk mengingatkan kami jika kami membuat kesilapan. Apabila anda tidak ditentang, anda berpendapat bahawa setiap perkara yang anda buat adalah betul." [3]
Pada pilihan raya umum tahun 2008, parti-parti pembangkang berjaya menghalang Barisan Nasional dari meraih majoriti ⅔ buat kali pertama sejak tahun 1969, iaitu 82 daripada 222 kerusi di Dewan Rakyat. Tiga parti pembangkang utama, iaitu Parti Keadilan Rakyat, Parti Tindakan Demokratik dan Parti Islam Se-Malaysia membentuk satu perikatan bergelar Pakatan Rakyat tidak lama selepas kejayaan ini.



E.     PERBANDINGAN SISTEM POLITIK INDONESIA DENGAN MALAYSIA
Indonesia dengan Malaysia merupakan negara serumpun, Indonesia dan Malaysia juga merupakan tetangga dekat yang memiliki banyak kesamaan dan juga perbedaan. Bentuk Negara Indonesia merupakan Negara Kesatuan. Indonesia merupakan sebuah Republik yang menjalankan pemerintahan presidensial dengan sistem multipartai yang demokratis. Seperti juga di Negara-negara demokrasi lainnya, sistem politik di Indonesia didasarkan pada Trias Politika yaitu kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif.
Kekuasaan legislatif dipegang oleh sebuah lembaga bernama Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). MPR pernah menjadi lembaga tertinggi negara unikameral, namun setelah amandemen ke-4 MPR bukanlah lembaga tertinggi lagi, dan menjadi lembaga bikameral yang terdiri dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang merupakan wakil rakyat melalui Partai Politik, ditambah dengan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang merupakan wakil provinsi dari jalur independen.
Lembaga eksekutif berpusat pada presiden, wakil presiden, dan kabinet. Kabinet di Indonesia adalah Kabinet Presidensial sehingga para menteri bertanggung jawab kepada presiden dan tidak mewakili partai politik yang ada di parlemen. Meskipun demikian, Presiden saat ini yakni Susilo Bambang Yudhoyono yang diusung oleh Partai Demokrat juga menunjuk sejumlah pemimpin Partai Politik untuk duduk di kabinetnya. Tujuannya untuk menjaga stabilitas pemerintahan mengingat kuatnya posisi lembaga legislatif di Indonesia. Namun pos-pos penting dan strategis umumnya diisi oleh menteri tanpa portofolio partai (berasal dari seseorang yang dianggap ahli dalam bidangnya).
Lembaga Yudikatif sejak masa reformasi dan adanya amandemen UUD 1945 dijalankan oleh Mahkamah Agung, Komisi Yudisial, dan Mahkamah Konstitusi, termasuk pengaturan administrasi para hakim.
 Indonesia saat ini terdiri dari 33 provinsi, lima di antaranya memiliki status yang berbeda. Provinsi dibagi menjadi kabupaten dan kota yang dibagi lagi menjadi kecamatan, kelurahan, desa, gampong, kampong, nagari, pekon, atau istilah lain yang diakomodasi oleh Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Tiap provinsi memiliki DPRD Provinsi dan Gubernur; sementara Kabupaten memiliki DPRD Kabupaten dan Bupati; kemudian kota memiliki DPRD Kota dan walikota; semuanya dipilih langsung oleh rakyat melalui Pemilu dan Pilkada.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004, terdapat dua asas dalam penyelenggaraan pemerintah daerah yaitu asas desentralisasi dan dekonsentrasi. Dengan demikian Negara Kesatuan Republik Indonesia walaupun memberikan kewenangan pada pemerintah daerah dalam hal ini setingkat Provinsi, namun tetap merujuk pada konstitusi negara Republik Indonesia yaitu UUD 1945 hasil Amandemen dan juga UU 32 Tahun 2004 dimana yang menjadi kewenangan Pemerintah Daerah dibatasi oleh kewenangan yang langsung dikerjakan oleh Pemerintah Pusat. Adapun kewenangan yang dimiliki pemerintah pusat ialah politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, agama, moneter dan fiskal nasional.
Sedangkan Negara Malaysia adalah monarkhi konstutisional dan berbentuk Federal yang secara  nominal dikepalai Yang di-Pertuan Agong, yang secara adat disebut dengan Raja. Raja sekaligus adalah pemimpin agama Islam di Malaysia. Yang di-Pertuan Agong dipilih dari dan oleh sembilan Sultan Negeri-Negeri Malaya, untuk menjabat selama lima tahun secara bergiliran; empat pemimpin negeri lainnya, yang bergelar Gubernur, tidak turut serta di dalam pemilihan.
Sistem pemerintahan di Malaysia bermodelkan sistem parlementer. Tetapi di dalam praktiknya, kekuasaan lebih terpusat di eksekutif daripada di legislatif, dan judikatif diperlemah oleh tekanan berkelanjutan dari pemerintah selama zaman Mahathir, kekuasaan yudikatif itu dibagikan antara pemerintah persekutuan dan pemerintah negara bagian. Sejak kemerdekaan pada 1957, Malaysia diperintah oleh koalisi multipartai yang disebut Barisan Nasional (pernah disebut pula Aliansi).
Kekuasaan legislatif dibagi antara legislatur persekutuan dan legislatif negeri. Parlemen bikameral terdiri dari Dewan Rendah yaitu, Dewan Rakyat (mirip "Dewan Perwakilan Rakyat" di Indonesia) dan Dewan Tinggi yaitu, Senat atau Dewan Negara (mirip "Dewan Perwakilan Daerah" di Indonesia). Dewan Rakyat dipilih dari daerah pemilihan beranggota-tunggal yang diatur berdasarkan jumlah penduduk. Di samping Parlemen di tingkatan persekutuan, masing-masing negara bagian memiliki dewan legislatif unikameral (Dewan Undangan Negeri) yang para anggotanya dipilih dari daerah-daerah pemilihan beranggota-tunggal. 
Kekuasaan eksekutif dilaksanakan oleh kabinet yang dipimpin oleh Perdana Mentri (Kepala Pemerintahan), konstitusi Malaysia menetapkan bahwa Perdana Menteri haruslah anggota Dewan Rendah (Dewan Rakyat), yang direstui Yang di-Pertuan Agong dan mendapat dukungan mayoritas di dalam parlemen Kabinet dipilih dari para anggota Dewan Rakyat dan Dewan Negara dan bertanggung jawab kepada badan itu, sedangkan kabinet merupakan anggota parlemen yang dipilih dari Dewan Rakyat atau Dewan Negara.
Pemerintah negara bagian dipimpin oleh Menteri Besar (Kepala Daerah setingkat Gubernur jika di Indonesia) di negeri-negeri Malaya atau Ketua Menteri di negara-negara yang tidak memelihara monarki lokal, yakni seorang anggota majelis negara bagian dari partai mayoritas di dalam Dewan Undangan Negeri. Di tiap-tiap negara bagian yang memelihara monarki lokal, Menteri Besar haruslah seorang Suku Melayu Muslim, meskipun penguasa ini menjadi subjek kebijaksanaan para penguasa. Kekuasaan politik di Malaysia amat penting untuk memperjuangkan suatu isu dan hak. Oleh karena itu kekuasaan memainkan peranan yang amat penting dalam melakukan perubahan.
Dengan demikian administrasi pemerintahan Malaysia dibagi dalam tiga struktur: (1) Pemerintahan Pusat (Federal) di Kuala Lumpur; (2) Pemerintahan Negara Bagian; dan (3) Pemerintahan Setempat (Local Government). Pemerintah Federal memiliki otoritas dalam beberapa bidang yang meliputi keuangan, luat negeri dan pertahanan, keamanan dalam negeri, pendidikan dan kesejahteraan sosial. Maka kewenangan dalam hal Agama diatur oleh Pemerintah Negara Bagian. Hal tersebut menjadikan Negeri Bagian Kelantan dapat melaksanakan hukum Islam sebagai hukum formal.
Dapat diambil kesimpulan bahwa bentuk negara Indonesia yaitu, Negara Kesatuan dengan mengedepankan asas dekonsentrasi dan desentralisasi sedangkan bentuk Negara Malaysia yaitu, Federal. Sehingga hal tersebut pun berpengaruh terhadap penerapan nilai-nilai Islam di kedua negara tersebut terutama dalam wilayah Negara Bagian dan Provinsi di kedua Negara tersebut.
Namun Demikian Malaysia dan Indonesia adalah Negara yang menempatkan Islam dalam kedudukan penting. Itu dikarenakan Islam adalah agama yang dianut oleh mayoritas masyarakat kedua Negara tersebut. Muslim di Indonesia dan Malaysia menganut Mazhab Syafi’i, yang merupakan mazhab moderat dan paling banyak dianut di Asia Tenggara. Di Malaysia, gerakan-gerakan Islam relatif homogen dalam menyuarakan tuntutan Islamisasi nilai-nilai dan hukum Islam di semua wilayah kehidupan. Sebaliknya, di Indonesia ada keragaman gerakan Islam, yang meliputi perspektif yang beragam tentang cara mengaktualisasikan Islam dan prinsip-prinsipnya dalam kehidupan publik.
Maka dari itu, Islamisasi di Indonesia menjadi berbeda dengan Malaysia, karena penerapan Islam secara legal-formal dapat dilihat dari proses perjuangan umat Islam di masing-masing Negara.
Indonesia merupakan Negara multi etnis yang sejak periode perjuangan kemerdekaan telah ada polarisasi dua arus kekuatan besar, Islam dan Nasionalisme. Semenjak Negara ini lahir, penduduk di dalamnya tidak pernah berhenti berdebat tentang seberapa besar tempat yang herus diberikan kepada Islam dalam konteks politik modern.
Para founding fathers negeri ini sempat terbelah dalam soal apakah Islam atau lainnya yang menjadi dasar Negara. Kelompok Islam beranggapan bahwa sudah selayaknya Islam diberi tempat lebih besar dalam struktur ketatanegaraan baru, karena Indonesia ditegakkan dan dihuni oleh mayoritas penduduk yang beragama Islam. Sementara kelompok nasionalis berdalih bahwa Negara yang penduduknya tidak seratus persen Muslim, hubungan legal-formal antara Islam dan Negara bukan sebuah keharusan, karena hal itu rentan melahirkan diskriminasi, khususnya bagi kalangan non-muslim. Menurut argumen ini, sejauh umat islam berperan aktif dalam proses politik, maka tidak akan ada kebijakan yang tidak dipengaruhi nilai-nilai Islam. Ketika situasinya semakin genting, Piagam Jakarta, yang di dalamnya termuat perihal syariat islam, akhirnya dihapuskan. 
Maka kemelut ideologi yang menyertai awal lahirnya Negara baru ini berakhir dengan suatu kompromi yang khas. Indonesia secara konstitusional bukan Negara islam, namun juga bukan Negara sekuler yang memandang agama semata-mata sebagai masalah pribadi yang sama sekali terlepas dari Negara.
Sementara di Malaysia, Islam sebagai agama mayoritas penduduk ditampung dalam konstitusi dan dinyatakan sebagai agama resmi Negara. Itu disebabkan karena Malaysia merupakan negeri yang di dalamnya aspirasi Islam dan kebangsaan mengendap dalam asosiasi kultural-politis yang rapat. Pada tahap pra-kemerdekaan, Islam dan kebangsaan selalu hadir berdampingan dalam sejarah politik Melayu.
Berbeda dengan Indonesia, sejarah politik Melayu hampir tidak mengenal polarisasi antara kekuatan Islamis dan nasionalis. Islam tidak pernah mendapat tantangan dari kekuatan sekuler, karena ia adalah satu-satunya sistem simbolik yang paling dominan yang diterima secara luas oleh masyarakat. Ketika Islam masuk dalam konstitusi sebagai agama resmi Negara, praktis tidak ada perlawanan dari kelompok-kelompok nasionalis sekuler seperti di Indonesia.


BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
a.       Sistem adalah kesatuan seperangkat struktur yang memiliki fungsi masing-masing yang bekerja untuk mencapai tujuan tertentu. Sistem politik adalah kesatuan (kolektivitas) seperangkat struktur politik yang memiliki fungsi masing-masing yang bekerja untuk mencapai tujuan suatu negara.
b.      Indonesia adalah sebuah negara hukum yang berbentuk kesatuan dengan pemerintahan berbentuk republik dan sistem pemerintahan presidensial dengan sifat parlementer. Indonesia tidak menganut sistem pemisahan kekuasaan melainkan pembagian kekuasaan. Walaupun ± 90% penduduknya beragama Islam, Indonesia bukanlah sebuah negara Islam.
c.       Malaysia mengamalkan sistem demokrasi berparlimen di bawah pentadbiran raja berperlembagaan. Malaysia diketuai oleh Seri Paduka Baginda Yang di-Pertuan Agong yang dipilih daripada sembilan sultan negeri Melayu untuk berkhidmat selama lima tahun sebagai Ketua Negara dan Pemerintah Tertinggi Angkatan Tentera.
d.      Indonesia dengan Malaysia merupakan negara serumpun, Indonesia dan Malaysia juga merupakan tetangga dekat yang memiliki banyak kesamaan dan juga perbedaan. Bentuk Negara Indonesia merupakan Negara Kesatuan. Indonesia merupakan sebuah Republik yang menjalankan pemerintahan presidensial dengan sistem multipartai yang demokratis. Seperti juga di Negara-negara demokrasi lainnya, sistem politik di Indonesia didasarkan pada Trias Politika yaitu kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif.
B.     Saran



DAFTAR PUSTAKA
http://ms.wikipedia.org/wiki/Politik_Malaysia Diakses pada tanggal 15 Mei 2014; 16:56
http://id.wikipedia.org/wiki/Politik_Indonesia  Diakses pada tanggal 15 Mei 2014; 17:01