Diawali dengan sejarah studi Hubungan
Internasional yang muncul antara Perang Dunia I dan II, realisme muncul sebagai
arus utama pendekatan hubungan internasional akibat ketidaksempurnaan
pendekatan kaum idealis, terutama pembahasan tentang ‘perang’. Pendekatan
pemikir Idealis dinilai lemah karena terlalu meremehkan ‘power,’ dan terlalu
menyanjung tinggi rasionalitas manusia, bahkan meyakini bahwa negara bangsa telah
mencacah sekian besar kepentingan bersama demi mengatasi ‘momok’ perang.
Debat-debat mengenai permasalahan power, rasionalitas, kepentingan bersama dan
perang, mulai muncul pada masa generasi baru realisme di akhir 1930-an, dimana
mereka menekankan pada kemaha-luasan ‘power’ dan pertarungan alami-politik
antar bangsa.
Teori yang akan digunakan dalam
menjabarkan politik luar negeri Iran adalah Neo-Realisme. Neo-Realisme adalah
teori Realisme klasik Hans J. Morgenthau yang diperbaharui Kenneth N. Waltz
untuk melengkapi kekurangan teori Realisme dalam menjabarkan realita dunia
perpolitikan terkini. Waltz menggunakan pendekatan teori internasional politik
yang lebih saintifik. Dalam neo-realisme, negara masih aktor utama juga sebagai
leviathan dan penentu haluan “bahtera” politik dunia. Struktur anarki
menurut neo-realis memungkinkan negara diserang kapanpun dan self-help is the
best way to feel secure.
Neo-Realis melihat power dari
pandangan yang berbeda, kepentingan nasional yang paling utama adalah security dan
menghalalkan kerjasama dalam pembentukan sekuritas bersama. Hal tersebut kerap
kali membuat negara lain yang berada di luar “ikatan” kerjasama terprovokasi
untuk meningkatkan kekuatan juga sehingga berakibat security dilema dan dapat
berakhir pada perang yang krusial serta collective destruction.
Persamaan neo-realisme
dan realisme klasik menjadikan negara dan perilaku negara sebagai fokusnya
serta berusaha menjawab pertanyaan mengapa perilaku negara selalu terkait
dengan kekerasan. Dalam pemikiran kedua realis ini pula, perilaku negara yang
keras dan amoral merupakan konsekuensi dari endemiknya kekuasaan dalam politik
internasional, seperti secara jelas dikutip dari “The Globalization of World
Politic” John Baylis dan Steve Smith yang diwakili ekspresi Morgenthau
(pemikir realisme klasik) dengan "fundamentally about struggle for
belonging, a struggle that is often violent".
Adapun bagi
neo-realisme, perebutan kekuasaan dalam politik internasional bukan berasal
dari hakekat manusia (negara), melainkan dari struktur yang menjadi konteks
dari perilaku negara-negara yang bersifat anarkhi.
Dalam sebuah sistem
yang secara struktural anarkhi, negara harus bertindak semata-mata berdasarkan
kepentingannya sendiri, yaitu mengejar kekuasaan sebesar-besarnya. Negara tidak
bisa menggantungkan keamanan dan kelangsungan hidupnya pada negara atau
institusi lain, melainkan pada kemampuannya sendiri (self-help), yakni
mengumpulkan berbagai sarana seperti yang terutama ialah militer. Tetapi, kebutuhan
sebuah negara untuk mempertahankan diri dengan memperkuat kekuatan militernya
bagi negara lain merupakan sumber ancaman dan menuntut negara lain tersebut
melakukan hal yang sama yang dikenal sebagai security dilemma.
Pemikir kaum neoralis kontemporer
termuka adalah Kenneth Wltz (1979). Menurut teori Neoraliz Waltz, bentuk
dasar hubungan internasional adalah struktur anarki yang tersebar di antara
negara-negara. Negara-negara serupa dalam semua hal fungsi dasarnya yaitu
dismping perbedaan budaya,atau ideologi atau konstitusi atau personal , mereka
semua menjalankan tugas-tugas dasar yang sama. Semua negara harus mengumpulkan
pajak. Menjalankan kebijakan luar negeri. Negara-negara sangat berbeda hanya
mengacu kepada kapabilitas mereka yang sangat beragam.
Neorealis menyimpulkan bahwa karena
perang adalah efek dari struktur anarkis dalam sistem internasional,
kemungkinan akan berlanjut di masa depan. Memang, neorealis sering berpendapat
bahwa prinsip penataan sistem internasional belum berubah secara mendasar dari
saat Thucydides sampai kepada munculnya perang nuklir. Pandangan bahwa
perdamaian tidak bertahan lama mungkin dapat dijelaskan oleh ahli teori lain
sebagai pandangan pesimis sebagian besar hubungan internasional. Salah satu
tantangan utama untuk neorealis adalah teori perdamaian demokratik dan
penelitian yang mendukung seperti buku Never at War. Neorealis menjawab
tantangan ini dengan menyatakan bahwa teori perdamaian demokratik cenderung
untuk memilih dan memilih definisi demokrasi untuk mendapatkan hasil empiris
yang diinginkan (prasangka). Dalam perang tidak ada kemenangan tetapi derajat
hanya bervariasi dari kekalahan, proposisi yang telah memperoleh peningkatan
penerimaan pada abad kedua puluh. Perang hasil dari keegoisan, dari implus agresif
salah arah, dan dari kebodohan. Perang paling sering mempromosikan kesatuan
internal dari masing-masing negara yang terlibat.
Pemikiran Kenneth Waltz masih tetap
mempunyai kesamaan dengan pendahulunya dengan melihat struktur untuk melakukan
prediksi. Di dalam kenyataannya perfect information/balance of power adalah hal
yang tidak dapat dibuktikan secara ilmiah. Karl Popper menyatakan bahwa sebuah
teori harus bisa difalsifikasi secara ilmiah maka ia dapat dikategorikan teori
yang ilmiah. Kenapa dalam situasi apapun ilmuwan tidak dapat melakukan
prediksi? Imperfect Information di dalam sistem internasional bisa terjadi
walaupun negara-negara mempunyai peralatan yang canggih untuk kegiatan
intelejen mereka, seberapa banyak informasi yang akan mereka tampun untuk
direduksi untuk mencapai suatu kesimpulan yang benar-benar sahih. Di satu sisi
pemikiran natural dari Waltz (natural selection dalam artian beradaptasi)
mempunyai kelebihan tetapi karena metode prediksi yang ia perkenalkan maka
menurut saya Waltz kurang memperhatikan faktor-faktor random effect dalam suatu
situasi.
Teori Neo-Realisme menunjukkan bahwa
pergerakan dunia saat ini mengarah pada kerjasama yang terjalin di antara
negara-negara adalah untuk memperkuat survival ability dengan pendekatan
power dan national interest serta visi bersama. Power
sendiri tidak hanya dilihat dari kekuatan militer saja, tetapi bisa dilihat
bagaimana kekuatan ekonomi ataupun politiknya mampu memperkuat survival
ability suatu bangsa. Kerjasama dalam rangka membangun kekuatan tersebut
menghasilkan hubungan sosial yang cukup erat, dapat dilihat bagaimana dekatnya
hubungan negara sosialis dengan negara Islam seperti Venezuela dan Iran.
Gelombang gerakan Islam dan Neo-Sosialisme menjadi anti-thesis untuk
imperialisme Barat. Struktur anarki dunia memaksa negara untuk menentukan sikap
bahkan memaksa untuk bertindak. Memilih untuk tidak atau ya, memilih untuk
melanjutkan imperialisme Barat atau menghentikannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar