18 Jun 2014

HUKUM SEBAGAI PENCAPAIAN KEADILAN



A.    PENGERTIAN HUKUM
Hukum adalah sistem yang terpenting dalam pelaksanaan atas rangkaian kekuasaan kelembagaan dari bentuk penyalahgunaan kekuasaan dalam bidang politik, ekonomi dan masyarakat dalam berbagai cara dan bertindak, sebagai perantara utama dalam hubungan sosial antar masyarakat terhadap kriminalisasi dalam hukum pidana, hukum pidana yang berupayakan cara negara dapat menuntut pelaku dalam konstitusi hukum menyediakan kerangka kerja bagi penciptaan hukum, perlindungan hak asasi manusia dan memperluas kekuasaan politik serta cara perwakilan di mana mereka yang akan dipilih. Administratif hukum digunakan untuk meninjau kembali keputusan dari pemerintah, sementara hukum internasional mengatur persoalan antara berdaulat negara dalam kegiatan mulai dari perdagangan lingkungan peraturan atau tindakan militer. filsuf Aristotle menyatakan bahwa "Sebuah supremasi hukum akan jauh lebih baik dari pada dibandingkan dengan peraturan tirani yang merajalela."
B.     BIDANG HUKUM
Hukum dapat dibagi dalam berbagai bidang, antara lain hukum pidana/hukum publik, hukum perdata/hukum pribadi, hukum acara, hukum tata negara, hukum administrasi negara/hukum tata usaha negara, hukum internasional, hukum adat, hukum islam, hukum agraria, hukum bisnis, dan hukum lingkungan.
a.       Hukum Pidana
Hukum pidana termasuk pada ranah hukum publik. Hukum pidana adalah hukum yang mengatur hubungan antar subjek hukum dalam hal perbuatan - perbuatan yang diharuskan dan dilarang oleh peraturan perundang - undangan dan berakibat diterapkannya sanksi berupa pemidanaan dan/atau denda bagi para pelanggarnya.
Dalam hukum pidana dikenal 2 jenis perbuatan yaitu kejahatan dan pelanggaran.
a)      Kejahatan ialah perbuatan yang tidak hanya bertentangan dengan peraturan perundang - undangan tetapi juga bertentangan dengan nilai moral, nilai agama dan rasa keadilan masyarakat. Pelaku pelanggaran berupa kejahatan mendapatkan sanksi berupa pemidanaan, contohnya mencuri, membunuh, berzina, memperkosa dan sebagainya.
b)      Sedangkan pelanggaran ialah perbuatan yang hanya dilarang oleh peraturan perundangan namun tidak memberikan efek yang tidak berpengaruh secara langsung kepada orang lain, seperti tidak menggunakan helm, tidak menggunakan sabuk pengaman dalam berkendaraan, dan sebagainya.
Di Indonesia, hukum pidana diatur secara umum dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), yang merupakan peninggalan dari zaman penjajahan Belanda, sebelumnya bernama Wetboek van Straafrecht (WvS). KUHP merupakan lex generalis bagi pengaturan hukum pidana di Indonesia dimana asas-asas umum termuat dan menjadi dasar bagi semua ketentuan pidana yang diatur di luar KUHP (lex specialis)
b.      Hukum Perdata
Salah satu bidang hukum yang mengatur hubungan-hubungan antara individu-individu dalam masyarakat dengan saluran tertentu. Hukum perdata disebut juga hukum privat atau hukum sipil. Salah satu contoh hukum perdata dalam masyarakat adalah jual beli rumah atau kendaraan .
Hukum perdata dapat digolongkan antara lain menjadi:
1.      Hukum keluarga
2.      Hukum harta kekayaan
3.      Hukum benda
4.      Hukum Perikatan
5.      Hukum Waris
c.       Hukum Acara
Untuk tegaknya hukum materiil diperlukan hukum acara atau sering juga disebut hukum formil. Hukum acara merupakan ketentuan yang mengatur bagaimana cara dan siapa yang berwenang menegakkan hukum materiil dalam hal terjadi pelanggaran terhadap hukum materiil. Tanpa hukum acara yang jelas dan memadai, maka pihak yang berwenang menegakkan hukum materiil akan mengalami kesulitan menegakkan hukum materiil. Untuk menegakkan ketentuan hukum materiil pidana diperlukan hukum acara pidana, untuk hukum materiil perdata, maka ada hukum acara perdata. Sedangkan, untuk hukum materiil tata usaha negara, diperlukan hukum acara tata usaha negara. Hukum acara pidana harus dikuasai terutama oleh para polisi, jaksa, advokat, hakim, dan petugas Lembaga Pemasyarakatan.
Hukum acara pidana yang harus dikuasai oleh polisi terutama hukum acara pidana yang mengatur soal penyelidikan dan penyidikan, oleh karena tugas pokok polisi menrut hukum acara pidana (KUHAP) adalah terutama melaksanakan tugas penyelidikan dan penyidikan. Yang menjadi tugas jaksa adalah penuntutan dan pelaksanaan putusan hakim pidana. Oleh karena itu, jaksa wajib menguasai terutama hukum acara yang terkait dengan tugasnya tersebut. Sedangkan yang harus menguasai hukum acara perdata. termasuk hukum acara tata usaha negara terutama adalah advokat dan hakim. Hal ini disebabkan di dalam hukum acara perdata dan juga hukum acara tata usaha negara, baik polisi maupun jaksa (penuntut umum) tidak diberi peran seperti halnya dalam hukum acara pidana. Advokatlah yang mewakili seseorang untuk memajukan gugatan, baik gugatan perdata maupun gugatan tata usaha negara, terhadap suatu pihak yang dipandang merugikan kliennya. Gugatan itu akan diperiksa dan diputus oleh hakim. Pihak yang digugat dapat pula menunjuk seorang advokat mewakilinya untuk menangkis gugatan tersebut.
Tegaknya supremasi hukum itu sangat tergantung pada kejujuran para penegak hukum itu sendiri yang dalam menegakkan hukum diharapkan benar-benar dapat menjunjung tinggi kebenaran, keadilan, dan kejujuran. Para penegak hukum itu adalah hakim, jaksa, polisi, advokat, dan petugas Lembaga Pemasyarakatan. Jika kelima pilar penegak hukum ini benar-benar menegakkan hukum itu dengan menjunjung tinggi nilai-nilai yang telah disebutkan di atas, maka masyarakat akan menaruh respek yang tinggi terhadap para penegak hukum. Dengan semakin tingginya respek itu, maka masyarakat akan terpacu untuk menaati hukum.

d.      Hukum Tata Negara
e.       Hukum Internasional
C.    SEJARAH HUKUM INDONESIA
D.    KEADILAN HUKUM
Keadilan adalah kondisi kebenaran ideal secara moral mengenai sesuatu hal, baik menyangkut benda atau orang. Menurut sebagian besar teori, keadilan memiliki tingkat kepentingan yang besar. Kebanyakan orang percaya bahwa ketidakadilan harus dilawan dan dihukum, dan banyak gerakan sosial dan politis di seluruh dunia yang berjuang menegakkan keadilan. Tapi, banyaknya jumlah dan variasi teori keadilan memberikan pemikiran bahwa tidak jelas apa yang dituntut dari keadilan dan realita ketidakadilan, karena definisi apakah keadilan itu sendiri tidak jelas. keadilan intinya adalah meletakkan segala sesuatunya pada tempatnya.
Keadilan hukum itu cukup sederhana, yaitu apa yang sesuai dengan hukum dianggap adil sedang yang melanggar hukum dianggap tidak adil. Jika terjadi pelanggaran hukum, maka harus dilakukan pengadilan untuk memulihkan keadilan. Dalam hal terjadinya pelanggaran pidana atau yang dalam bahasa sehari-hari disebut “kejahatan” maka harus dilakukan pengadilan yang akan melakukan pemulihan keadilan dengan menjatuhkan hukuman kepada orang yang melakukan pelanggaran pidana atau kejahatan tersebut. Hukum Indonesia dinilai belum mampu memberikan keadilan kepada masyarakat yang tertindas. Justru sebaliknya, hukum menjadi alat bagi pemegang kekuasaan untuk bertindak semena-mena.
Equality before the law. Suatu kata yang selalu diajarkan pada bangku kuliah fakultas hukum di seluruh Indonesia atau bahkan seluruh dunia. Persamaan di depan hukum setidaknya merupakan gambaran betapa hukum menempatkan setiap orang siapa pun dia, dari mana pun dia, dan berlatar belakang apa pun dia, harus ditempatkan dalam kedudukan yang sama di hadapan hukum.
ASAS persamaan di hadapan hukum itulah yang menjadikan hukum sebagai sarana pencapaian keadilan. Adanya persamaan itulah, maka hukum itu harus ditaati oleh siapa pun karena hanya lewat hukum akan ada ketertiban, ketenteraman, dan keadilan.
Namun, potret penegakan hukum Indonesia kini telah berada pada titik yang tidak lagi berada pada timbangan keseimbangan, bak pedang bermata satu yang tumpul di atas namun amat tajam di bawah. Betapa tidak, akhir-akhir ini kita banyak dapatkan fenomena hukum di negeri Indonesia yang secara tegas konstitusinya menyebutkan sebagai negara hukum dalam artian segala bentuk tindakan manusianya harus dilandaskan oleh hukum. Namun, ternyata fenomena-fenomena yang ada menggabarkan betapa hukum hanya berlaku sepihak di Indonesia.
Sebuah tayangan televisi akhir-akhir ini secara gamblang memaparkan kepada masyarakat bagaimana hukum itu berjalan di tangan-tangan para malaikat dunia yang seenakanya saja memainkan dan menentukan nasib seseorang. Jelas para penegak hukum bukan malaikat apalagi Tuhan, sehingga kesalahan adalah suatu hal yang wajar atau bahkan suatu takdir yang tak mungkin dapat dihindari. Tapi, apakah kesalahan yang berlangsung secara terus-menerus itu juga takdir?
Dalam tayangan televisi tersebut dipaparkan betapa kasus seorang jaksa Esther yang secara terbukti bersalah menjual barang bukti berupa pil ekstasi yang juga merupakan barang bukti sejumlah lebih dari 300 butir hanya divonis oleh majelis hakim satu tahun penjara. Sedangkan di sisi lain sebagai bahan perbandingan ada seorang sopir yang kedapatan membawa satu pil ekstasi divonis majelis hakim 4 tahun penjara. Inikah keadilan yang dijanjikan hukum di negeri ini. Ini hanya satu kasus dari ratusan kasus atau bahkan ribuan kasus yang tidak terekspose media. Bagaimana para pelaku hukum bisa menjelaskan keadilan jika posisi hukum diibaratkan sebagai pedang yang bermata satu?
Betapa tidak, tiga ratus pil ekstasi dan satu pil ekstasi bisa diberikan hukuman lebih berat untuk yang satu pil ekstasi. Padahal, secara jelas penjual 300 pil ekstasi adalah seorang penegak hukum yang seharusnya menyandang gelar terhormat dan integritas yang harus menjadi panutan masyarakat. Sehingga layak bagi hakim menjatuhkan hukuman seberat-beratnya karena secara pribadi ia adalah orang yang tahu hukum.
Dalam tayangan tersebut, salah seorang majelis hakim menjelaskan pertimbangannya menjatuhkan vonis satu tahun. Ia menyatakan bahwa jaksa Esther terpeleset alias tidak sengaja menjual ekstasi. Sungguh pertimbangan hukum yang menyedihkan. Sedangkan untuk kasus sopir yang membawa satu pil ekstasi tidak pernah ada pertimbangan terpeleset atau tidak. Padahal, jaksa Esther jika ditelusuri mendalam selain menjual ekstasi, dia juga mencuri barang bukti. Artinya, ada dua tindak pidana yang ia lakukan. Selain itu, dia juga menjual kepada oknum kepolisian. Sehingga dari rangkaian tersebut, efek jera dari putusan pengadilan adalah suatu hal yang mutlak agar institusi penegak hukum dapat dan mau mengoreksi dan memperbaiki citranya yang sudah hancur berantakan di mata masyarakat.
Seharusnya penegak hukum harus bersikap adil kepada semua masyarakat tanpa membeda bedakan dia itu “masyarakyat biasa” atau “orang penting” di negeri ini. Dengan melihat apa kesalahannya yang dibuat dan dihukum sesuai dengan peraturan yang ada dengan adil, bukannya malah kasus yang lebih ringan dihukum lebih berat daripada kasus berat dihukumnya ringan.
Integrated is not negotiable (integritas adalah suatu hal yang tidak bisa dinegosiasikan) sebuah ungkapan yang harus selalu dijunjung para penegak hukum kini hanya tinggal kenangan dan berganti menjadi integrated is must negotiable (integritas adalah hal yang harus di negosiasikan). Ketika integritas tidak lagi menjadi bagian dari penegakan hukum di Indonesia, keadilan jelas bukan lagi monopoli hukum di negeri ini.

E.     HUKUM INDONESIA
Hukum di Indonesia merupakan campuran dari sistem hukum Eropa, hukum agama, dan hukum adat. Sebagian besar sistem yang dianut, baik perdata maupun pidana berbasis pada hukum Eropa, khususnya dari Belanda karena aspek sejarah masa lalu Indonesia yang merupakan wilayah jajahan dengan sebutan Hindia-Belanda (Nederlandsch-Indie). Hukum agama karena sebagian besar masyarakat Indonesia menganut Islam, maka dominasi hukum atau syariat Islam lebih banyak terutama di bidang perkawinan, kekeluargaan, dan warisan. Selain itu, di Indonesia juga berlaku sistem hukum adat yang diserap dalam perundang-undangan atau yurisprudensi, yang merupakan penerusan dari aturan-aturan setempat dari masyarakat dan budaya-budaya yang ada di wilayah nusantara.
a.       Hukum Perdata
Salah satu bidang hukum yang mengatur hak dan kewajiban yang dimiliki pada subyek hukum dan hubungan antara subyek hukum. Hukum perdata disebut pula hukum privat atau hukum sipil sebagai lawan dari hukum publik. Jika hukum publik mengatur hal-hal yang berkaitan dengan negara serta kepentingan umum (misalnya politik dan pemilu (hukum tata negara), kegiatan pemerintahan sehari-hari (hukum administrasi atau tata usaha negara), kejahatan (hukum pidana), maka hukum perdata mengatur hubungan antara penduduk atau warga negara sehari-hari, seperti misalnya kedewasaan seseorang, perkawinan, perceraian, kematian, pewarisan, harta benda, kegiatan usaha dan tindakan-tindakan yang bersifat perdata lainnya.
Hukum perdata di Indonesia didasarkan pada hukum perdata di Belanda, khususnya hukum perdata Belanda pada masa penjajahan. Bahkan Kitab Undang-undang Hukum Perdata (dikenal KUHPer.) yang berlaku di Indonesia tidak lain adalah terjemahan yang kurang tepat dari Burgerlijk Wetboek (atau dikenal dengan BW) yang berlaku di kerajaan Belanda dan diberlakukan di Indonesia (dan wilayah jajahan Belanda) berdasarkan asas konkordansi.
Untuk Indonesia yang saat itu masih bernama Hindia-Belanda, BW diberlakukan mulai 1859. Hukum perdata Belanda sendiri disadur dari hukum perdata yang berlaku di Perancis dengan beberapa penyesuaian.
Kitab undang-undang hukum perdata (disingkat KUHPer) terdiri dari empat bagian yaitu :
·      Buku I tentang Orang; mengatur tentang hukum perseorangan dan hukum keluarga, yaitu hukum yang mengatur status serta hak dan kewajiban yang dimiliki oleh subyek hukum. Antara lain ketentuan mengenai timbulnya hak keperdataan seseorang, kelahiran, kedewasaan, perkawinan, keluarga, perceraian dan hilangnya hak keperdataan. Khusus untuk bagian perkawinan, sebagian ketentuan-ketentuannya telah dinyatakan tidak berlaku dengan disahkannya UU nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan.
·      Buku II tentang Kebendaan; mengatur tentang hukum benda, yaitu hukum yang mengatur hak dan kewajiban yang dimiliki subyek hukum yang berkaitan dengan benda, antara lain hak-hak kebendaan, waris dan penjaminan. Yang dimaksud dengan benda meliputi (i) benda berwujud yang tidak bergerak (misalnya tanah, bangunan dan kapal dengan berat tertentu); (ii) benda berwujud yang bergerak, yaitu benda berwujud lainnya selain yang dianggap sebagai benda berwujud tidak bergerak; dan (iii) benda tidak berwujud (misalnya hak tagih atau piutang). Khusus untuk bagian tanah, sebagian ketentuan-ketentuannya telah dinyatakan tidak berlaku dengan di undangkannya UU nomor 5 tahun 1960 tentang agraria. Begitu pula bagian mengenai penjaminan dengan hipotik, telah dinyatakan tidak berlaku dengan di undangkannya UU tentang hak tanggungan.
·      Buku III tentang Perikatan; mengatur tentang hukum perikatan (atau kadang disebut juga perjanjian (walaupun istilah ini sesunguhnya mempunyai makna yang berbeda), yaitu hukum yang mengatur tentang hak dan kewajiban antara subyek hukum di bidang perikatan, antara lain tentang jenis-jenis perikatan (yang terdiri dari perikatan yang timbul dari (ditetapkan) undang-undang dan perikatan yang timbul dari adanya perjanjian), syarat-syarat dan tata cara pembuatan suatu perjanjian. Khusus untuk bidang perdagangan, Kitab undang-undang hukum dagang (KUHD) juga dipakai sebagai acuan. Isi KUHD berkaitan erat dengan KUHPer, khususnya Buku III. Bisa dikatakan KUHD adalah bagian khusus dari KUHPer.
·      Buku IV tentang Daluarsa dan Pembuktian; mengatur hak dan kewajiban subyek hukum (khususnya batas atau tenggat waktu) dalam mempergunakan hak-haknya dalam hukum perdata dan hal-hal yang berkaitan dengan pembuktian.
Sistematika yang ada pada KUHP tetap dipakai sebagai acuan oleh para ahli hukum dan masih diajarkan pada fakultas-fakultas hukum di Indonesia.
b.      Hukum Pidana
Hukum pidana merupakan bagian dari hukum publik. Hukum pidana terbagi menjadi dua bagian, yaitu hukum pidana materiil dan hukum pidana formil. Hukum pidana materiil mengatur tentang penentuan tindak pidana, pelaku tindak pidana, dan pidana (sanksi). Di Indonesia, pengaturan hukum pidana materiil diatur dalam kitab undang-undang hukum pidana (KUHP). Hukum pidana formil mengatur tentang pelaksanaan hukum pidana materiil. Di Indonesia, pengaturan hukum pidana formil telah disahkan dengan UU nomor 8 tahun 1981 tentang hukum acara pidana (KUHAP).
c.       Hukum Tata Negara
Hukum tata negara adalah hukum yang mengatur tentang negara, yaitu antara lain dasar pendirian, struktur kelembagaan, pembentukan lembaga-lembaga negara, hubungan hukum (hak dan kewajiban) antar lembaga negara, wilayah dan warga negara. Hukum tata negara mengatur mengenai negara dalam keadaan diam artinya bukan mengenai suatu keadaan nyata dari suatu negara tertentu (sistem pemerintahan, sistem pemilu, dll dari negara tertentu) tetapi lebih pada negara dalam arti luas. Hukum ini membicarakan negara dalam arti yang abstrak.
d.      Hukum Tata Usaha (Administrasi) Negara
Hukum tata usaha (administrasi) negara adalah hukum yang mengatur kegiatan administrasi negara. Yaitu hukum yang mengatur tata pelaksanaan pemerintah dalam menjalankan tugasnya . hukum administarasi negara memiliki kemiripan dengan hukum tata negara.kesamaanya terletak dalam hal kebijakan pemerintah ,sedangkan dalam hal perbedaan hukum tata negara lebih mengacu kepada fungsi konstitusi/hukum dasar yang digunakan oleh suatu negara dalam hal pengaturan kebijakan pemerintah,untuk hukum administrasi negara dimana negara dalam "keadaan yang bergerak". Hukum tata usaha negara juga sering disebut HTN dalam arti sempit.
e.       Hukum Adat
Hukum adat adalah seperangkat norma dan aturan adat yang berlaku di suatu wilayah.
f.       Hukum Islam
Hukum Islam di Indonesia belum bisa ditegakkan secara menyeluruh, karena belum adanya dukungan yang penuh dari segenap lapisan masyarakat secara demokratis baik melalui pemilu atau referendum maupun amandemen terhadap UUD 1945 secara tegas dan konsisten. Aceh merupakan satu-satunya provinsi yang banyak menerapkan hukum Islam melalui Pengadilan Agama, sesuai pasal 15 ayat 2 Undang-Undang RI No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman yaitu : Peradilan Syariah Islam di Provinsi Nanggroe Aceh Darrussalam merupakan pengadilan khusus dalam lingkungan peradilan agama sepanjang kewenangannya menyangkut kewenangan peradilan agama, dan merupakan pengadilan khusus dalam lingkungan peradilan umum sepanjang kewenangannya menyangkut kewenangan peradilan umum.
F.     FUNGSI HUKUM
Secara umum hukum mempunyai arti  himpunan peraturan yang dibuat oleh yang berwenang dengan tujuan untuk mengatur tata kehidupan bermasyarakat yang mempunyai ciri memerintah dan melarang serta mempunyai sifat memaksa dengan menjatuhkan sanksi hukuman bagi yang melanggarnya. Untuk mencapai tujuannya, hukum harus difungsikan menurut fungsi-fungsi tertentu.
Saat  ini, terdapat perbedaan-perbedaan pandangan fungsi hukum diantara para ahli hukum, dan perbedaan itu kerap kali menjadi unsur yang mendorong timbulnya perbedaan mengenai tujuan menerapkan hukum. Ada yang lebih menekankan pada fungsi kontrol sosial, atau fungsi perubahan, dan lain-lain. Jika masing-masing pihak menuntut menurut keinginannya sendiri-sendiri maka yang timbul adalah permasalahan hukum bukan penyelesaian hukum. Bahkan menimbulkan konflik, yang berkonotasi saling menyalahkan, saling menuduh dan lain-lain.
Selain perdebatan mengenai fungsi hukum, terjadi pula perdebatan mengenai tujuan hukum. Secara tradisional ada yang memusatkan tujuan hukum untuk mewujudkan keadilan dan ketertiban. Kalau dikaji lebih dalam, pada tingkat tertentu dua tujuan itu tidak selalu seiring bahkan dapat bertentangan satu sama lain. Tujuan mewujudkan keadilan berbeda dengan tujuan mewujudkan ketertiban. Dalam keadaan tertentu, tuntutan keadilan akan melonggarkan kepastian hukum, sedangkan kepastian hukum justru merupakan komponen utama mewujudkan ketertiban. Tanpa kepastian hukum tidak akan ada ketertiban. Sebaliknya pada tingkat tertentu, ketertiban dapat menggerogoti keadilan. Selain mewujudkan kepastian, ketertiban memerlukan persamaan (equality), sedangkan keadilan harus memungkinkan keberagaman atau perbedaan perlakuan.
Joseph Raz (1983 V 163-177) membedakan fungsi sosial hukum atas: Fungsi langsung dan Fungsi langsung yang bersifat primer, yakni mencakup pencegahan perbuatan tertentu dan mendorong dilakukannya perbuatan tertentu,  penyediaan fasilitas bagi rencana-rencana privat, penyediaan servias dan pembagian kembali barang-barang,  penyelesaian perselisihan di luar jalur reguler.
1)      Fungsi Langsung Bersifat Sekunder
·         Prosedur perubahan hukum, meliputi antara lain: constitution making bodies, parliements, local authorities, administrative legislation, custom, judicial law-making, regulations made by independent public bodies dan lain-lain.
·         Prosedur bagi pelaksana hukum
2)      Fungsi Tidak Langsung
Termasuk di dalam fungsi hukum yang tidak langsung ini adalah memperkuat atau memperlemah kecenderungan untuk menghargai nilai-nilai normal tertentu, sebagai contoh:
·         Kesucian hidup
·         Memperkuat atau memperlemah penghargaan terhadap otoritas umum
·         Mempengaruhi perasaan kesatuan nasional
3)      Funsi Hukum Menurut Tokoh Indonesia
·         Menurut pendapat Soedjono Dirjosisworo
1.      Fungsi hukum sebagai alat ketertiban dan ketentraman masyarakat
2.      Sebagai sarana untuk mewujudkan keadilan
3.      Sarana penggerak pembangunan
4.      Fungsi kritis dari hukum bahwa daya kerja hukum tidak semata-mata melakukan pengawasan kepada aparatur pengawas, aparatur pemerintah dan aparatur penegak hukumnya.
·         Menurut Sunaryati Hartono
1.      Hukum sebagai pemeliihara ketertiban dan keamanan
2.      Sebagai sarana pembangunan
3.      Sarana penegak keadilan
4.      Sarana pendidikan kepada masyarakat
·         Seminar hukum Nasional IV (Badan Pembinaan Hukum Nasional, 1980:61) menyatakan bahwa fungsi dan peranan hukum dalam pembangunan ialah:
1.      Sebagai pengatur, penertib dan pengawas kehidupan masyarakat
2.      Penegak keadilan dan pengayom warga masyarakat
3.      Penggerak dan pendorong pembangunan dan perubahan menuju masyarakat yang dicita-citakan
4.      Pengaruh masyarakat pada nilai-nilai yang mendukung usaha pembangunan
5.      Penjamin keseimbangan dan keserasian yang dinamis dalam masyarakat yang mengalami perubahan cepatFactor integrasi antara berbagai sub system budaya bangsa
4)      Fungsi Hukum sebagai “ A Tool of Social Control”
Menurut Ronny Hantijo Soemitro (1984:134): Kontrol sosial merupakan aspek normatif dari kehidupan sosial atau dapat disebut sebagai pemberi definisi dari tingkah laku yang menyimpang serta akibat-akibatnya seperti larangan-larangan, tuntutan-tuntutan, pemindanaan dan pemberian ganti rugi.
Dari apa yang dikemukakan oleh Prof. Ronny di atas, kita dapat menangkap isyarat bahwa hukum bukan satu-satunya alat pengendali atau pengontrol sosial. Hukum hanyala salah satu alat kontrol sosial dalam masyarakat.
Fungsi hukum sebagai alat pengendalian sosial dapat diterangkan sebagai fungsi hukum untuk menetapkan tingkah laku mana yang dianggap merupakan penyimpangan terhadap aturan hukum, dan apa sanksi atau tindakan yang dilakukan oleh hukum jika terjadi penyimpangan tersebut.
Olehnya itu Ronny (1984: 143) menuliskan bahwa:  “Tingkah laku yang menyimpang merupakan tindakan yang tergantung pada kontrol sosial. Ini berarti kontrol sosial menentukan tingkah laku yang bagaimana yang merupakan tingkah laku yang menyimpang. Makin tergantung tingkah laku itu pada kontrol sosial makin berat nilai penyimpangan pelakunya. Berat ringannya tingkah laku menyimpang itu tergantung …….”
Menurut pendapat JS. Rouceek (1951: 31) yang menyatakan:  “Mekanisme pengendalian sosial (mechanisme of social control) ialah segala sesuatu yang dijalankan untuk melaksanakan proses yang direncanakan maupun yang tidak direncanakan untuk mendidik, mengajak atau bukan memaksa para warga agar menyesuaikan diri dengan kebiasaan-kebiasaan dan nilai-nilai kehidupan masyarakat yang bersangkutan”.
5)      Fungsi Hukum sebagai “A Political Instrument”
Hukum dan politik memang sulit dipisahkan, khususnya hukum tertulis mempunyai kaitan langsung dengan negara. Karena itulah Curzon menyatakan bahwa: “The close connections between law dan politics, between legal principles and the institution of the law, between political ideologies and government institutions are obvius…”. Sejauhmana hukum itu dapat dijadikan sebagai alat politik? Pandangan kaum dogmatik adalah bahwa fungsi hukum sebagai alat politik tidak merupakan gejala universal, melainkan hanya ditemukan pada negara-negara tertentu dengan sistem tertentu. Mereka menganggap konsep negara hukum melarang hukum dijadikan sebagai alat politik, merupakan hal yang universal. Apalagi jika dikaitkan dengan fungsi hukum sebagai alat rekayasa sosial, maka peranan penguasa politik terhadap hukum adalah sangat besar.
Dalam sistem hukum kita di Indonesia, undang-undang adalah produk bersama DPR dan pemerintah. Kenyataan ini tak mungkin disangkal betapa para politisilah yang memprodukkan undang-undang (hukum tertulis).
Pandangan bahwa hukum tak mungkin dipisahkan sama sekali dari politik, bukan hanya pandangan juris yang beraliran sosiologis, tetapi bahkan pencipta ‘the pure theory of law”, Hans Kelsen, yang antara lain mengemukakan (dikutip dari Purnadi dan Soerjono, 1983: 12) bahwa: (Pemisahan poitik secara tegas sebagaimana dituntut oleh ajaran murni memang hukum, hanya berkaitan dengan ilmu hukum, dan bukan dengan obyeknya yaitu hukum. Dengan tegas dikatakan hukum tidak dapat dipisahkan dengan politik).
Hukum tidak mungkin dipisahkan dengan politik. Terutama pada masyarakat yang sedang membangun, dimana pembangunan tidak lain merupakan keputusan politik, sedangkan pembangunan jelas membutuhkan legalitas dari sektor hukum.
Kaum dogmatik melihat hukum sebagai alat politik bukan hal yang bersifat universal. Mereka memberi contoh di negara-negara mana saja hukum dijadikan sebagai alat politik, yaitu di dalam sistem hukum Marxis, konsep hukum didasarkan pada asas-asas dari peran pengadilan sebagai konsolidator dan pembela tata politik. Hal itu mudah dimengerti jika kita sempat membaca definisi hukum dari Shebanov (Curzon, 1979: 44) bahwa: “In socialist countries a law is a basic legal instrument for resolving political problem and an important tool tor economic and cultural development, for insuring the internal and external security of the state, for the protection of socialist property and for the expansion and consolidation of socialist democracy”.
Pendapat Shebanov yang mengatakan bahwa di dalam negara-negara sosialis dan untuk mengekspansi serta mengkonsolidasikan demokrasi sosialis; keseluruhannya itu tidak lain adalah wujud dari totaliter yang diselubungi dengan istilah demokrasi. Bagi penulis, pernyataan Shebanov dapat dianggap sebagai pencerminan masyarakat komunis dimana hukumnya bukan dianggap sebagai pencerminan masyarakat komunis dimana hukumnya bukan sekadar alat politik, tetapi hukumnya ditindas oleh politik untuk melakukan apa yang diinginkan oleh pemerintah komunis tersebut. Dalam hal ini kita harus membedakan antara penggunaan hukum sebagai alat politik dalam arti yang wajar, dan penindasan hukum oleh politik untuk melakukan kesewenang-wenangan seperti yang dilakukan oleh pemerintah otoriter dan komunis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar