A. CONTOH STATUS SOSIAL DI LUAR
INDONESIA
1) Perang
Saudara Spanyol
Perang Saudara Spanyol, yang berlangsung dari 17 Juli
1936
hingga 1 April
1939,
adalah konflik antara kaum Nasionalis yang dipimpin oleh Jenderal Francisco Franco
yang mengalahkan kaum Loyalis yang dipimpin oleh Presiden Manuel Azaña
dari Republik Spanyol Kedua. Kaum Loyalis
mendapatkan senjata dan relawan dari Uni Soviet
dan gerakan Komunis
internasional, sementara kaum Nasionalis (atau Francois) didukung oleh
negara-negara Fasis,
termasuk Italia dan Jerman. Kaum Republikan terdiri atas kaum sentris (tengah)
yang mendukung demokrasi liberal kapitalis hingga komunis
dan kaum revolusioner anarkis.
Basis kekuatan mereka terutama adalah sekular dan urban (meskipun juga termasuk
kaum buruh tani yang tidak memiliki tanah) dan khususnya kuat di
wilayah-wilayah industri seperti Asturias
dan Catalunya.
Negeri Basque yang konservatif juga
memihak dengan Republik,
terutama karena ia, bersama-sama dengan tetangganya Catalunya,
berusaha mendapatkan otonomi dari pemerintahan pusat yang belakangan ditindas
dengan menciptakan sentralisasi terhadap kaum nasionalis. Kaum Francois umumnya
memiliki basis dukungan di pedesaan, masyarakat yang kaya dan konservatif. Pada
umumnya mereka Katolik Roma, dan mendukung sentralisasi
kekuasaan. Sebagian dari taktik-taktik
militer dalam perang ini - termasuk penggunaan taktik-taktik teror
terhadap kaum sipil - mendahului apa yang kelak terjadi dalam Perang Dunia II,
meskipun baik kaum Nasionalis maupun Republikan sangat mengandalkan pasukan infantri
ketimbang menggunakan taktik-taktik modern seperti blitzkrieg
(serangan kilat) dengan tank
dan pesawat-pesawat terbang.
Sementara perang itu
berlangsung hanya sekitar tiga tahun, situasi politiknya sudah penuh dengan
kekerasan selama beberapa tahun sebelumnya. Jumlah korbannya dipertikaikan.
Perkiraan umum menyebutkan antara 300.000 hingga 1 juta orang terbunuh. Banyak
di antara para korban ini disebabkan oleh pembunuhan-pembunuhan massal yang
dilakukan kedua belah pihak. Perang ini dimulai dengan pemberontakan militer di
seluruh Spanyol dan koloni-koloninya, yang diikuti oleh pembalasan kaum
Republikan terhadap Gereja, yang dipandang kaum Republikan radikal sebagai
lembaga yang menindas yang mendukung orde lama.
Terjadi pembantaian
terhadap rohaniwan-rohaniwati Katolik dan gereja-gereja. Biara-biara dibakar.
Dua belas uskup,
283 biarawati,
2.365 biarawan
dan 4.184 imam Katolik
dibunuh.[1][2]
Bekas pemilik tanah dan kaum industrialis juga diserang. Selama dan menjelang
pecahnya perang, kaum Nasionalis melaksanakan program pembunuhan massal
terhadap lawan-lawan mereka. Dilakukan pemeriksaan dari rumah ke rumah, dan
orang-orang yang tidak disukai seringkali dipenjarakan atau dibunuh. Para
aktivis serikat buruh, yang dikenal sebagai simpatisan kaum Republikan dan yang
sering mengkritik rezim Franco merupakan orang-orang pertama yang diincar. Kaum
Nasionalis juga melakukan pengeboman udara terhadap wilayah-wilayah sipil
dengan bantuan angkatan udara Jerman dan Italia. Kebrutalan biasa dilakukan
oleh semua pihak.
Dampak perang ini
sangat hebat: Dibutuhkan waktu puluhan tahun untuk memulihkan kembali ekonomi Spanyol.
Dampak politik dan emosional dari perang ini terus dirasakan jauh melampaui
batas-batas negara Spanyol dan menyulut semangat kaum komunitas intelektual dan
politik internasional, yang hingga kini masih ditemukan dalam politik Spanyol.
Para simpatisan
Republikan menyatakannya sebagai perjuangan antara "tirani
dan demokrasi",
atau "fasisme
dan kebebasan",
dan banyak pembaharu muda dan kaum revolusioner yang mempunyai komitmen tinggi
bergabung dengan Brigade Internasional,
yang merasa bahwa menyelamatkan Republik Spanyol berada di garis depan
peperangan melawan fasisme.
Namun para pendukung Franco, khususnya anggota-anggota muda dari korps perwira,
memandanganya sebagai pertempuran antara gerombolan merah komunisme
dan anarkisme
di satu pihak melawan "peradaban
Kristen"
di pihak lain.
2) Spytihněv I dari Bohemia
Ia merupakan putra
Adipati Bořivoj I, Adipati Bohemia,
yang pertama di dalam sejarah yang dikonfirmasikan sebagai penguasa Bohemia
dari Wangsa Přemyslid, dan istrinya Ludmila.
Karena ia masih terlalu kecil setelah kematian ayahnya pada tahun 899, wilayah
Bohemia di bawah perwalian
Raja Svatopluk I dari Moravia Raya.
Setelah Svatopluk wafat pada tahun 894 dan konflik warisan terjadi di antara
anak-anaknya Mojmír II dan Svatopluk II,
Spytihněv mengambil kesempatan tersebut untuk membebaskan dirinya sendiri dari
ikatan Moravia. Menurut Annales Fuldenses,
ia muncul pada tahun 895 Reichstag
di Regensburg
dan membayar upeti kepada Francia Timur
Raja Arnulf dari Kärnten.
Spytihněv dikenal atas
persekutuannya dengan Margrave Luitpold dari Bayern,
yang pada tahun 898 berperang melawan Mojmír II, akhirnya memisahkan Bohemia
dari kerajaan Moravia Raya. Dirancang untuk melindungi Bohemia melawan
kerusakan dari perampok Hongaria,
pakta ini juga membuka Bohemia ke kebudayaan Franka Timur Karolingia dan membuka jalan bagi
kemenangan akhir dari Katolik Roma
di dalam keputusan spiritual Ceko. Spytihněv melanjutkan perpanjangan Kastil Praha
sebagai pusat administratif wilayah keadipatian Přemyslid.
3) Konflik
Protestan-Katolik: Irlandia Utara Rusuh
Suatu malam
minggu yang tidak biasanya bagi warga Irlandia utara
,karenanya biasanya kota Belfasl begitu semarak dengan warganya
hilir mudik dalam menikmati malam minggunya namun kemarin
justeru terjadi kerusuhan antara komunitas Protestant Oranye
Order dan aparat kepolisian yang menyebabkan 32 orang polisi
mengalami luka-luka.
Perseturuan
antara Katolik dan Protestant di Irlandia Utara itu bukanlah hal yang
baru karena sudah terjadi lebih dari dua abad lamamya ,yang sampai
sekarangpun belum bisa dituntaskan oleh Kerajaan Inggris.Negara Irlandia
itu sudah tercabik-cabik oleh kedua kelompok sehingga negara itu
pun terepecah dua,Irlandia Utara berpusat di ibukota Belfalst dan Isrlandia
selatan(Republik Irlandia) berpusat di ibukotanya Dublin.
Kedua kelompok itu saling
menyerang satu sama lainnya,sehingga aparat kepolisian Inggris memisahkan
mereka dengan kawasan penyangga yang tidak bisa dilalui oleh kelompok
manapun.Ketika mSabtu malam 13 Juli 2013 kelompok Protestant yang disebut
juga sebagai”Oranye Order”hendak mengadakan pawai melalui wilayah Katolik di
kota Belfast,karena dikhawatirkan akan menimbulkan konflik sehingga
aparat kepolisian melarangnya.
Terkait masalah itulah
sehingga terjadi kerusuhan itu antara kelompok Oranye order dan
pihak kepolisian yang menimbulkan korban luka-luka dipihak kepolisian sebanyak
32 orang dan dipihak perusuh juga terdapat anggota legislatif dan
delapan lainnya mengalami luka-luka .Memang kelompok Oranye
order setiap musim panas tiba mereka mengadakan parade yang melalui
wilayah Katolik sebagai provokasi karena perbedaan politik dan juga
agama mereka.
Sementara protestant
yang didukung oleh warga Inggris yang pro Irlandia Utara turut juga
mengikuti parade tersebut sehingga menimbulkan kerusuhan dengan
pihak kepolisian karena melarang mereka melalui kawasan Katolik yang
menghendaki penyatuan Isrlandia.Bahkan sebagiannya bergabung dengan
IRA(Irlandia Reguler Army) berjuang secara politik dan militer
melawan Inggris ,untuk mewujudkan cita-cita mereka. Kerajaan
Inggris memang belum berhasil menyelesaikan masalah tersebut sampai
sekarang, karenanaya tidak mustahil kedepannya Inggris akan
terpecah-pecahan menjadi beberapa negara merdeka dan berdaulat
terlepada rejim monarchi di London.
Kerajaan Inggris tidak
hanya menghadap masalah Irlandia dan Irlandia utara itu,tetapi juga Skotlandia
yang rencananya akan mengadakan referendum tahun 2014 dengan opsi kemerdekaan
atau tetap bagaian dari Inggris.Begitu juga kawasan alaiannya,seperti
Wales meskipun mereka terkesan kurang aktif namun hal itu bukannya mereka
diam saja jika Skotlandia lepas dari Kerajaan Inggris.
4) Malaysia
Yang di-Pertuan Agong adalah gelar
bagi raja
Malaysia.
Jabatan ini digilirkan setiap lima tahun antara sembilan Pemerintah Negeri Melayu.
Malaysia telah
melakukan pemilihan raja sejak merdeka dari Inggris
pada 1957.
Dalam tatanan unik, raja dipilih oleh dan digilir di antara para raja dari
sembilan negara bagian Malaysia yang masih dipimpin raja. Empat negara bagian
lain tak dipimpin oleh raja. Malaysia merupakan salah satu kerajaan yang menganut
sistem Pergiliran kekuasaan.
Sejak tahun 1993, gelar
panjang dari Raja Malaysia adalah, Seri Paduka Baginda Yang di Pertuan Agong.
Gelar ini juga ditambah dengan gelar kehormatan Duli Yang Maha Mulia (DYMM).
Sementara itu, istri dari Yang di Pertuan Agong disebut Raja Permaisuri Agong.
Tempat tinggal resmi Yang di Pertuan Agong adalah di Istana Negara,
yang berlokasi di Jalan Syed Putra, tepat di ibukota Malaysia,
Kuala Lumpur.
Sementara itu, Yang di Pertuan Agong juga memiliki istana lain di daerah Putrajaya,
yang dinamakan Istana Melawati. Istana ini dijuluki
sebagai Istana Hinggap, karena istana ini hanya dipakai saat Yang di
Pertuan Agong menghadiri Majelis Raja-Raja
untuk memilih Raja Malaysia berikutnya.
5) System
kasta di India
Sistem Kasta Sistem lapisan sosial yang tertutup dengan
jelas dapat dilihat dalam masyarakat India. Sistem pelapisan di India sangat
kaku dan menjelma dalam bentuk kasta. Secara umum, kasta di India mempunyai
ciri-ciri tertentu, yaitu:
a.
Keanggotaan pada kasta, diperoleh
karena warisan atau kelahiran. Dengan kata lain, anak yang lahir akan
memperoleh kedudukan dari orang tuanya.
b.
Keanggotaan yang diwariskan, berlaku
untuk seumur hidup. Oleh karena itu, seseorang tidak mungkin mengubah kedudukannya,
kecuali apabila ia dikeluarkan dari kastanya.
c.
Perkawinan bersifat endogami,
artinya seseorang harus menikah dengan orang yang berada dalam satu kasta.
d.
Hubungan dengan kelompok-kelompok
sosial lainnya bersifat terbatas.
e.
Adanya kesadaran pada keanggotaan
suatu kasta tertentu. Hal ini terlihat nyata dari nama kasta, identifikasi
anggota pada kasta, penyesuaian diri terhadap norma-norma yang berlaku dalam
kasta yang bersangkutan,
Sistem kasta di India telah ada
sejak berabad-abad yang lampau. Istilah kasta dalam bahasa India adalah ”yati”,
sedangkan sistemnya disebut ”varna”. Menurut kitab Reg-Wedha, dalam masyarakat
India Kuno terdapat empat varna yang tersusun atas Brahmana, Kesatria, Waisya,
dan Sudra. Kasta Brahmana terdiri atas pendeta-pendeta yang dipandang sebagai
lapisan tertinggi. Kesatria merupakan kasta golongan bangsawan dan tentara.
Waisya terdiri atas kasta golongan pedagang, sedangkan Sudra terdiri atas
orang-orang biasa atau rakyat jelata. Golongan yang tidak berkasta, tidak masuk
dalam sistem varna dan disebut golongan Paria.
Suatu sistem stratifikasi tertutup
dalam batas-batas tertentu, juga dijumpai pada masyarakat Bali. Seperti halnya
masyarakat India, masyarakat Bali pun terbagi dalam empat lapisan sesuai dengan
kitab suci orang Bali yaitu Brahmana,
Kesatria, Waisya, dan Sudra. Ketiga lapisan pertama biasa disebut
”triwangsa”, sedangkan lapisan terakhir disebut ”jaba”. Keempat lapisan
tersebut terbagi lagi dalam lapisan-lapisan khusus, yang biasanya diketahui
dari gelar yang disandang. Gelar-gelar tersebut diwariskan menurut garis
keturunan laki-laki yang antara lain Ida Bagus (Brahmana), Tjokorda, Dewa,
Ngahan (Kesatria), I Gusti, Gusti (Waisya), Pande, Kbon, dan Pasek (Sudra).
Walaupun gelar-gelar tersebut tidak
memisahkan golongan-golongan secara ketat, akan tetapi sangat penting bagi
sopan santun pergaulan. Selain itu, hukum adat juga menetapkan hak-hak bagi si
pemakai gelar, misalnya dalam memakai tanda-tanda, perhiasan, pakaian tertentu,
dan lain-lain. Kehidupan sistem kasta di Bali tersebut umumnya tampak jelas
dalam hubungan perkawinan, terutama seorang gadis dari suatu kasta tertentu
pada umumnya dilarang bersuamikan seseorang dari kasta yang lebih rendah.
B. CONTOH STATUS SOSIAL INDONESIA
1) Konflik
Sampit
Kasus ini terjadi pada tahun
2001 dan puncak konfliknya selama 10 hari. Tercatat 469 orang meninggal dan
108.000 orang mengungsi. Kerugian materi sebanyak 192 rumah dibakar dan 784
lainnya rusak, 16 mobil dan 43 sepeda motor juga hancur. LSI mencatat intelijen
gagal mendeteksi dini gejala kerusuhan.
Saat konflik terjadi,
pemerintah pusat lamban melakukan darurat sipil dan Presiden Gus Dur saat itu
tengah melakukan lawatan ke Timur Tengah dan Afrika Utara.Positifnya,
pemerintah mengevakusi pengungsi dan mengirimkan pasukan tambahan baik Brimob
maupun TNI dari luar Kalteng.
2) Kasus
Maluku dan Maluku Utara
Kasus ini terjadi di
Maluku dan Maluku Utara sepanjang tahun 1999-2002. Total warga yang meninggal
akibat kerusuhan ini mencapai angka 8.000-9.000 orang dan 70.000 orang lainnya
mengungsi.
Kerugian materi dalam
kasus ini adalah 29.000 rumah terbakar, 7.046 rusak termasuk 46 masjid, 47
gereja, 719 toko, dan 38 gedung pemerintah.
LSI mencatat peran
pemerintah ada dua sisi perbedaan dalam kasus ini. Di era Gus Dur dan Megawati,
terjadi ketidaknetralan aparat keamanan dan pecahnya struktur pemerintah ke
dalam dua komunitas. Di era SBY dan JK, terjadi kemajuan dengan adanya
pemberlakuan darurat sipil, perjanjian Malino II dan penanganan pengungsi
3) Konflik
Poso
Konflik di poso adalah salah satu
konflik yang ada di Indonesia yang belum terpecahkan sampai saat ini. Meskipun
sudah beberapa resolusi ditawarkan, namun itu belum bisa menjamin keamanan di
Poso. Pelbagai macam konflik terus bermunculan di Poso. Meskipun secara umum
konflik-konflik yang terjadi di Poson adalah berlatar belakan agama, namun
kalau kita meneliti lebih lanjur, maka kita akan menemukan pelbagai kepentingan
golongan yang mewarnai konflik tersebut.
Poso adalah sebuah kabupaten yang
terdapat di Sulawesi Tengah. Kalau dilihat dari keberagaman penduduk, Poso
tergolong daerah yang cukup majemuk, selain terdapat suku asli yang mendiami
Poso, suku-suku pendatang pun banyak berdomisili di Poso, seperti dari Jawa,
batak, bugis dan sebagainya.
Suku asli asli di Poso, serupa
dengan daerah-daerah disekitarnya;Morowali dan Tojo Una Una, adalah orang-orang
Toraja. Menurut Albert Kruyt terdapat tiga kelompok besar toraja yang menetap
di Poso. Pertama, Toraja Barat atau sering disebut dengan Toraja Pargi-Kaili. Kedua
adalah toraja Timur atau Toraja Poso-Tojo, dan ketiga adalah Toraja Selatan
yang disebut juga denga Toraja Sa’dan. Kelompok pertama berdomisili di Sulawesi
Tengah, sedangkan untuk kelompok ketiga berada di Sulawesi Selatan. Untuk
wilayah poso sendiri, dibagi menjadi dua kelompok besar. Pertama adalah Poso
tojo yang berbahasa Bare’e dan kedua adalah Toraja Parigi-kaili. Namun untuk
kelompok pertama tidak mempunyai kesamaan bahasa seperti halnya kelompok
pertama.
Kalau dilihat dari konteks agama,
Poso terbagi menjadi dua kelomok agama besar, Islam dan Kristen. Sebelum
pemekaran, Poso didominasi oleh agama Islam, namun setelah mengalami pemekaran
menjadi Morowali dan Tojo Una Una, maka yang mendominasi adala agama Kristen.
Selain itu masih banyak dijumpai penganut agama-agama yang berbasis kesukuan,
terutama di daerah-daerah pedalaman. Islam dalam hal ini masuk ke Sulawesi, dan
terkhusus Poso, terlebih dahulu. Baru kemudian disusul Kristen masuk ke Poso.
Keberagaman ini lah yang menjadi
salah satu pemantik seringnya terjadi pelbagai kerusuhan yang terjadi di Poso.
Baik itu kerusuhan yang berlatar belakang sosial-budaya, ataupun kerusuhan yang
berlatarbelakang agama, seperti yang diklaim saat kerusuhan Poso tahun 1998 dan
kerusuhan tahun 2000. Agama seolah-olah menjai kendaraan dan alasan tendesius
untuk kepentingan masing-masing.
Awal konflik Poso terjadi setelah
pemilihan bupati pada desember 1998. Ada sintimen keagamaan yang
melatarbelakangi pemilihan tersebut. Dengan menangnya pasangan Piet I dan
Mutholib Rimi waktu tidak lepas dari identitas agama dan suku.Untuk seterusnya
agama dijadikan tedeng aling-aling pada setiap konflik yang
terjadi di Poso. Perseturuan kecil, semacam perkelahian antar persona pun bisa
menjadi pemicu kerusuhan yang ada di sana. Semisal, ada dua pemuda terlibat
perkelahian. Yang satu beragama islam dan yang satunya lagi beragama Kristen.
Karena salah satu pihak mengalami kekalahan, maka ada perasaan tidak terima
diantara keduanya. Setelah itu salah satu, atau bahkan keduanya, melaporkan
masalah tersebut ke kelompok masing-masing, dan timbullah kerusuhan yang
melibatkan banyak orang dan bahkan kelompok.
4) Bali
Masyarakat Bali juga
mengenal sistem kasta. Pembagian kasta tersebut terlihat jelas dalam kehidupan
sehari-hari. Misalnya dalam upacara ngaben. Ngaben adalah upacara pembakaran
mayat di Bali. Ngaben merupakan upacara adat yang paling penting di Bali.
Biasanya mayat yang sudah meninggal dibakar atau diaben. Tujuan ngaben agar
lima penyunsun badan kasarnya cepat kembali dan menyatu dengan asalnya. Mayat
diletakkan di dalam sebuah menara (Bade). Tinggi menara tergantung dari kasta
dari orang yang meninggal. Menara yang lebih rendah untuk golongan ksatria
(bangsawan) dan waisya (pedagang). Menara yang paling rendah adalah untuk
golongan sudra (rakyat biasa).
5) Adat
Minangkabau
Adat Minangkabau adalah peraturan dan undang-undang atau
hukum adat
yang berlaku dalam kehidupan sosial masyarakat Minangkabau,
terutama yang bertempat tinggal di Ranah Minang
atau Sumatera Barat. Dalam batas tertentu,
Adat Minangkabau juga dipakai dan berlaku bagi masyarakat Minang yang berada di
perantauan di luar wilayah Minangkabau.
Adat adalah landasan
bagi kekuasaan para Raja dan Penghulu,
dan dipakai dalam menjalankan pemerintahan sehari-hari. Semua peraturan hukum
dan perundang-undangan disebut Adat, dan landasannya adalah tradisi yang
diwarisi secara turun-temurun serta syariat Islam
yang sudah dianut oleh masyarakat Minangkabau.
Seorang Raja
atau Penghulu
memegang kekuasaan karena keturunan, dan kekuasaan itu menjadi sah karena
didukung oleh para ulama yang memegang otoritas agama dalam masyarakat. Dari
ide ini muncul adagium Adat basandi syarak; Syarak basandi Kitabullah.
Sesudah kedatangan
kolonialis Eropa,
wilayah hukum Adat dibatasi hanya pada pengaturan jabatan Penghulu, kekuasaan
atas Tanah Ulayat,
peraturan waris,
perkawinan,
dan adat istiadat saja. Kekuasaan hukum,
keamanan dan teritorial diambil alih oleh pemerintah kolonial.
Keadaan ini berlanjut
sampai pada zaman kemerdekaan. Setelah berlakunya Undang-undang Otonomi Daerah
tahun 1999 dan gerakan Kembali ka Nagari, Adat Minang mendapat tempat
yang lebih baik dan dimasukkan sebagai salah satu dasar pemerintahan Nagari,
Pemerintahan Daerah Kabupaten, dan Pemerintahan Daerah Provinsi, sesudah UUD 1945.