BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR
BELAKANG
Sebuah sistem pemerintahan dibuat demi terselenggaranya pemerintahan
negara yang mampu mewujudkan tujuan sebuah bangsa, yaitu masyarakat yang adil,
makmur dan sejahtera. Untuk itulah, pemerintah bertugas mengatur dan mengarahkan
kehidupan bersama dengan cara membuat hukum, melaksanakan dan menegakkannya,
serta melakukan upaya-upaya lain demi terwujudnya kesejahteraan rakyat.
Dalam kenyataan, tidak setiap sistem pemerintahan dapat berjalan sesuai harapan itu. Masalahnya
mungkin terletak pada pengaturan sistem pemerintahan yang belum sempurna atau
lengkap. Namun kemungkinan pula penyebabnya adalah ketidakmampuan para pejabat
dalam melaksanakan sistem itu, atau kesengajaan pejabat pemerintah
menyalahgunakan wewenang. dilain pihak, mungkin pula rakyat sendiri memang
tidak siap mendukung sistem pemerintahan yang berlaku.
Satu hal yang harus di ingat adalah bahwa pelaksanaan sebuah sistem
pemerintahan tidak berlangsung dalam ruang kosong. Pelaksanaan sistem
pemerintahan dalam suatu negara sangat dipengaruhi antara lain oleh: (a)
komitmen elite politik terhadap sistem politik yang hendak diwujudkan; (b)
sistem kepartaian yang telah berkembang di negara yang telah bersangkutan (c) tradisi politik yang telah berkembang
dinegara yang telah bersangkutan dan (d) budaya politik dominan dimasyarakat
yang bersangkutan.
B. RUMUSAN MASALAH
Adapun rumusan masalah dari makalah
ini adalah:
a. Apa
pengertian dari sistem politik?
b. Bagaimana
sistem politik Indonesia?
c. Bagaimana
sistem politik Malaysia?
d. Bagaimana
perbandingan antara sistem politik Indonesia dengan Malaysia?
C. TUJUAN
sejalan dengan
rumusan masalah diatas, maka yang menjadi tujuan penulisan adalah:
a. Untuk
mengetahui pengertian sistem politik.
b. Untuk
mengetahui keadaan sistem politik Indonesia.
c. Untuk
mengetahui keadaan sistem politik Malaysia.
d. Untuk
mengetahui perbedaan antara sistem politik Indonesia dengan Malaysia.
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN
SISTEM POLITIK
Pengertian
sistem politik menurut David Easton masih memegang posisi kunci dalam studi
politik negara. Pengertian struktural fungsional dari Gabriel Almond
mempertajam konsep David Easton tersebut. Sistem adalah kesatuan seperangkat
struktur yang memiliki fungsi masing-masing yang bekerja untuk mencapai tujuan
tertentu. Sistem politik adalah kesatuan (kolektivitas) seperangkat struktur
politik yang memiliki fungsi masing-masing yang bekerja untuk mencapai tujuan
suatu negara. Pendekatan sistem politik ditujukan untuk memberi penjelasan yang
bersifat ilmiah terhadap fenomena politik. Pendekatan sistem politik
dimaksudkan juga untuk menggantikan pendekatan klasik ilmu politik yang hanya
mengandalkan analisis pada negara dan kekuasaan. Pendekatan sistem politik
diinspirasikan oleh sistem yang berjalan pada makhluk hidup (dari disiplin
biologi).
Dalam
pendekatan sistem politik, masyarakat adalah konsep induk oleh sebab sistem
politik hanya merupakan salah satu dari struktur yang membangun masyarakat
seperti sistem ekonomi, sistem sosial dan budaya, sistem kepercayaan dan lain
sebagainya. Sistem politik sendiri merupakan abstraksi (realitas yang diangkat
ke alam konsep) seputar pendistribusian nilai di tengah masyarakat.
Seperti telah
dijelaskan, masyarakat tidak hanya terdiri atas satu struktur (misalnya sistem
politik saja), melainkan terdiri atas multi struktur. Sistem yang biasanya
dipelajari kinerjanya adalah sistem politik, sistem ekonomi, sistem agama,
sistem sosial, atau sistem budaya-psikologi. Dari aneka jenis sistem yang
berbeda tersebut, ada persamaan maupun perbedaan. Perbedaan berlingkup pada
dimensi ontologis (hal yang dikaji) sementara persamaan berlingkup pada
variabel-variabel (konsep yang diukur) yang biasanya sama antara satu sistem
dengan lainnya.
Untuk memahami
sistem politik Indonesia, layaknya kita memahami sistem-sistem lain, maka harus
kita ketahui beberapa variabel kunci. Variabel-variabel kunci dalam memahami sebuah sistem adalah
adalah struktur, fungsi, aktor, nilai, norma,
tujuan, input, output, respon, dan umpan balik.
Struktur adalah lembaga politik yang
memiliki keabsahan dalam menjalankan suatu fungsi sistem politik. Dalam konteks
negara (sistem politik) misal dari struktur ini struktur input, proses,
dan output. Struktur input bertindak selaku pemasok komoditas ke dalam
sistem politik, struktur proses bertugas mengolah masukan dari struktur input,
sementara struktur output bertindak selaku mekanisme pengeluarannya. Hal ini
mirip dengan organisme yang membutuhkan makanan, pencernaan, dan metabolisme
untuk tetap bertahan hidup.
Struktur input, proses dan output umumnya dijalankan oleh aktor-aktor
yang dapat dikategorikan menjadi legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Ketiga
aktor ini menjalankan tugas kolektif yang disebut sebagai pemerintah (government).
Namun, setiap aktor yang mewakili struktur harus memiliki fungsi yang
berbeda-beda: Tidak boleh suatu fungsi dijalankan oleh struktur yang berbeda
karena akan menimbulkan konflik kepentingan. Ini pun merupakan dasar
dari disusunnya konsep Trias Politika (pemisahan kekuasaan) seperti
digagas para pionirnya di masalah abad pencerahan seperti John Locke dan
Montesquieu.
Nilai adalah
komoditas utama yang berusaha didistribusikan oleh struktur-struktur di setiap
sistem politik yang wujudnya adalah: (1) kekuasaan, (2) pendidikan atau
penerangan; (3) kekayaan; (4) kesehatan; (4) keterampilan; (5) kasih sayang;
(6) kejujuran dan keadilan; (7) keseganan, respek.[1] Nilai-nilai tersebut
diasumsikan dalam kondisi yang tidak merata persebarannya di masyarakat
sehingga perlu campur tangan struktur-struktur yang punya kewenangan (otoritas)
untuk mendistribusikannya pada elemen-elemen masyarakat yang seharusnya
menikmati. Struktur yang menyelenggarakan pengalokasian nilai ini, bagi Easton,
tidak dapat diserahkan kepada lembaga yang tidak memiliki otoritas: Haruslah
negara dan pemerintah sebagai aktornya.
Norma adalah peraturan, tertulis maupun
tidak, yang mengatur tata hubungan antar aktor di dalam sistem politik.
Norma ini terutama dikodifikasi di dalam konstitusi (undang-undang dasar) suatu
negara. Setiap konstitusi memiliki rincian kekuasaan yang dimiliki struktur
input, proses, dan output. Konstitusi juga memuat mekanisme pengelolaan konflik
antar aktor-aktor politik di saat menjalankan fungsinya, dan menunjuk aktor
(sekaligus) lembaga yang memiliki otoritas dalan penyelesaikan konflik. Setiap
negara memiliki norma yang berlainan sehingga konsep norma ini dapat pula
digunakan sebagai parameter dalam melakukan perbandingan kerja sistem politik
suatu negara dengan negara lain.
Tujuan sistem politik, seperti halnya norma, juga
terdapat di dalam konstitusi. Umumnya, tujuan suatu sistem politik terdapat di
dalam mukadimah atau pembukaan konstitusi suatu negara. Tujuan sistem
politik Indonesia termaktub di dalam Pembukaan Undang-undang Dasar Negara
Republik Indonesia tahun 1945, sementara tujuan sistem politik Amerika Serikat
termaktub di dalam Declaration of Independence.
Input dan output adalah dua fungsi dalam sistem
politik yang berhubungan erat. Apapun output suatu sistem politik, akan
dikembalikan kepada struktur input. Struktur input akan bereaksi terhadap
apapun output yang dikeluarkan, yang jika positif akan memunculkan dukungan
atas sistem, sementara jika negatif akan mendampak muncul tuntutan
atas sistem. Umpan balik (feedback) adalah situasi di mana sistem
politik berhasil memproduksi suatu keputusan ataupun tindakan yang direspon
oleh struktur output.
Analisis mengenai kinerja sistem politik sering merujuk pada
teorisasi yang disusun oleh David Easton. Uraian Easton mengenai sistem politik
kendati abstrak dan luas tetapi unggul dalam pencakupannya. Artinya,
teori Easton ini mampu menggambarkan kinerja sistem politik hampir secara
holistik dan sebab itu sering disebut sebagai grand theory. Uraian
Easton juga bersifat siklis, dalam arti sebagai sebuah sistem, sistem politik
dipandang sebagai sebuah organisme hidup yang mencukupi
kebutuhan-kebutuhan hidupnya sendiri, mengalami input, proses, output, dan
dikembalikan sebagai feedback kepada struktur input. Struktur input
kemudian merespon dan kembali menjadi input ke dalam sistem politik. Demikian
proses tersebut berjalan berputar selama sistem politik masih eksis.
Pemikiran sistem politik Easton juga tidak terlepas dari
pandangan umum ilmu sosial yang berkembang saat ia menyusun teorinya pada kurun
1953 hingga 1965. Era tersebut diwarnai paradigma ilmu sosial mainstream yang
bercorak fungsionalisme. Dalam fungsionalisme suatu sistem dianggap memiliki
kecenderungan menciptakan ekuilibrium, adaptasi, dan integrasi dalam kerja
struktur-strukturnya. Layaknya tubuh manusia – di mana organ tangan, kaki,
kepala, perut, dan lainnya – sistem politik pun memiliki aneka struktur yang
fungsi-fungsinya satu sama lain berbeda, saling bergantung, dan bekerja secara
harmonis dalam mencapai tujuan dari sistem tersebut.
Namun, pendekatan Easton ini kurang sempurna untuk
diaplikasikan sebagai alat analisis sistem politik di dalam skala mikro, yang
meliputi perilaku politik individu dan lembaga-lembaga yang tidak secara formal
merepresentasikan suatu fungsi di dalam sistem politik. Kekurangan ini lalu
dimodifikasi oleh koleganya, Gabriel Abraham Almond. Almond (bersama James
Coleman) ini terutama mengisi abstraknya penjelasan Easton mengenai struktur,
fungsi, kapabilitas pemerintah, fungsi pemeliharaan dan adaptasi, serta dimensi
perilaku warganegara dalam kehidupan mikro politik sehari-hari sistem
politik. Almond tetap bekerja menggunakan skema besar sistem politik
Easton, tetapi melakukan pendalaman analisis atas level individual di dalam
negara.
Analisis sistem politik Indonesia di dalam buku ini
menggunakan bangunan teori Easton sebagai kerangka makro dan Almond sebagai
kerangka mikro. Keduanya akan digunakan secara komplementatif. Komplementasi
konsep Easton oleh Almond ini diantaranya telah ditulis secara baik dan
sistematis oleh Ronald H. Chilcote.[2]
B. KAPABILITAS
SISTEM POLITIK
Level kedua dari aktivitas sistem politik
terletak pada fungsi-fungsi kemampuan. Kemampuan suatu sistem politik
menurut Almond terdiri atas kemampuan regulatif, ekstraktif, distributif,
simbolis, dan responsif.
Kemampuan ekstraktif adalah kemampuan sistem politik
dalam mendayagunakan sumber-sumber daya material ataupun manusia baik yang
berasal dari lingkungan domestik (dalam negeri) maupun internasional.[19] Dalam
hal kemampuan ekstraktif ini Indonsia lebih besar ketimbang Timor Leste, karena
faktor sumber daya manusia maupun hasil-hasil alam yang dimilikinya. Namun,
kemampuan Indonesia dalam konteks ini lebih kecil ketimbang Cina.
Kemampuan regulatif adalah kemampuan sistem politik
dalam mengendalikan perilaku serta hubungan antar individu ataupun kelompok
yang ada di dalam sistem politik. Dalam konteks kemampuan ini sistem politik
dilihat dari sisi banyaknya regulasi (undang-undang dan peraturan) yang dibuat
serta intensitas penggunaannya karena undang-undang dan peraturan dibuat untuk
dilaksanakan bukan disimpan di dalam laci pejabat dan warganegara.
Selain itu, kemampuan regulatif berkaitan dengan kemampuan ekstraktif
di mana proses ekstraksi membutuhkan regulasi.
Kemampuan distributif adalah kemampuan sistem politik
dalam mengalokasikan barang, jasa, penghargaan, status, serta nilai-nilai
(misalnya seperti nilai yang dimaksud Lasswell) ke seluruh warganegaranya.
Kemampuan distributif ini berkaitan dengan kemampuan regulatif karena
untuk melakukan proses distribusi diperlukan rincian, perlindungan, dan jaminan
yang harus disediakan sistem politik lewat kemampuan regulatif-nya.
Kemampuan simbolik adalah kemampuan sistem politik
untuk secara efektif memanfaatkan simbol-simbol yang dimilikinya untuk
dipenetrasi ke dalam masyarakat maupun lingkungan internasional. Misalnya
adalah lagu-lagu nasional, upacara-upacara, penegasan nilai-nilai yang
dimiliki, ataupun pernyataan-pernyataan khas sistem politik. Simbol adalah
representasi kenyataan dalam bahasa ataupun wujud sederhana dan dapat dipahami
oleh setiap warga negara. Simbol dapat menjadi basis kohesi sistem politik
karena mencirikan identitas bersama. Salah satu tokoh politik Indonesia yang
paling mahir dalam mengelola kemampuan simbolik ini adalah Sukarno dan
pemerintah Indonesia di masa Orde Baru.
Kemampuan responsif adalah kemampuan sistem politik
untuk menyinkronisasi tuntutan yang masuk melalui input dengan keputusan dan
tindakan yang diambil otoritas politik di lini output. Sinkronisasi ini terjadi
tatkala pemerintahan SBY mampu melakukan sinkronisasi antara tuntutan pihak
Gerakan Aceh Merdeka dengan keputusan untuk melakukan perundingan dengan mereka
serta melaksanakan kesepakatan Helsinki hasil mediasi. Sinkronisasi ini membuat
tuntutan dari Aceh tidak lagi meninggi kalau bukan sama sekali lenyap.
Almond menyebutkan bahwa pada negara-negara demokratis,
output dari kemampuan regulatif, ekstraktif, dan distributif lebih dipengaruhi
oleh tuntutan dari kelompok-kelompok kepentingan sehingga dapat dikatakan bahwa
masyarakat demokratis memiliki kemampuan responsif yang lebih tinggi ketimbang
masyarakat non demokratis. Sementara pada sistem totaliter, output yang
dihasilkan kurang responsif pada tuntuan, perilaku regulatif bercorak paksaan,
serta lebih menonjolkan kegiatan ekstraktif dan simbolik maksimal atas sumber
daya masyarakatnya.
C. POLITIK
INDONESIA
Indonesia adalah sebuah negara hukum yang
berbentuk kesatuan dengan pemerintahan berbentuk republik dan sistem pemerintahan presidensial dengan sifat parlementer. Indonesia tidak menganut sistem
pemisahan kekuasaan melainkan pembagian kekuasaan. Walaupun ± 90% penduduknya
beragama Islam, Indonesia bukanlah sebuah negara Islam.
Cabang eksekutif dipimpin oleh
seorang presiden yang merupakan kepala negara sekaligus kepala pemerintahan
yang dibantu oleh seorang wakil presiden yang kedudukannya sebagai pembantu
presiden di atas para menteri yang juga pembantu presiden. Kekuasaan legislatif
dibagi di antara dua kamar di dalam Majelis
Permusyawaratan Rakyat/MPR
yaitu, Dewan Perwakilan
Rakyat/DPR dan Dewan Perwakilan
Daerah/DPD.
Cabang yudikatif terdiri dari Mahkamah Agung/MA yang dan sebuah Mahkamah Konstitusi/MK yang secara bersama-sama
memegang kekuasaan kehakiman. Kekuasaan Inspektif dikendalikan oleh Badan Pemeriksa
Keuangan yang
memiliki perwakilan di setiap provinsi dan kabupaten/kota di seluruh wilayah
Republik Indonesia.
Indonesia terdiri dari 33 provinsi
yang memiliki otonomi, 5 di antaranya memiliki status otonomi yang berbeda,
terdiri dari 3 Daerah
Otonomi Khusus
yaitu Aceh, Papua, dan Papua Barat; 1 Daerah Istimewa yaitu Yogyakarta; dan 1 Daerah Khusus Ibu kota yaitu Jakarta. Setiap provinsi dibagi-bagi lagi menjadi kota/kabupaten dan setiap kota/kabupaten dibagi-bagi lagi menjadi kecamatan/distrik kemudian dibagi lagi menjadi keluarahan/desa/nagari hingga terakhir adalah rukun tetangga.
Pemilihan Umum diselenggarakan setiap 5 tahun untuk memilih anggota DPR,
anggota DPD, dan anggota DPRD yang disebut pemilihan umum legislatif (Pileg)
dan untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden atau yang disebut pemilihan umum
presiden (Pilpres). Pemilihan Umum di Indonesia menganut sistem multipartai.
Ada perbedaan yang besar antara
sistem politik Indonesia dan negara demokratis lainnya di dunia. Di antaranya
adalah adanya Majelis Permusyawaratan Rakyat yang merupakan ciri khas dari
kearifan lokal Indonesia, Mahkamah Konstitusi yang juga berwenang mengadili
sengketa hasil pemilihan umum, bentuk negara kesatuan yang menerapkan
prinsip-prinsip federalisme seperti adanya Dewan Perwakilan Daerah, dan sistem
multipartai berbatas di mana setiap partai yang mengikuti pemilihan umum harus
memenuhi ambang batas 2.5% untuk dapat menempatkan anggotanya di Dewan
Perwakilan Rakyat maupun di Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah/DPRD
Kabupaten/Kota.
D. POLITIK
MALAYSIA
Malaysia mengamalkan sistem demokrasi berparlimen di bawah pentadbiran raja berperlembagaan. Malaysia diketuai oleh Seri Paduka
Baginda Yang di-Pertuan
Agong yang
dipilih daripada sembilan sultan negeri Melayu untuk berkhidmat selama lima
tahun sebagai Ketua Negara dan Pemerintah Tertinggi Angkatan Tentera.
Sistem ini adalah berdasarkan sistem Westminster kerana Malaysia merupakan bekas
tanah jajahan British. Kuasa eksekutif ditetapkan oleh kabinet yang dipimpin oleh Perdana Menteri. Berdasarkan
perlembagaan Malaysia, Perdana Menteri mestilah seorang anggota Dewan Rakyat, yang pada pendapat Yang di-Pertuan
Agong, memimpin
kumpulan majoriti dalam parlimen. Manakala kabinet merupakan ahli parlimen yang
dipilih daripada Dewan Rakyat atau Dewan Negara.
Malaysia mengamal sistem parlimen dwidewan: Dewan Rakyat dan Dewan Negara. Dewan Negara mempunyai 70 orang yang terpilih selama 3
tahun. Pemilihan ahlinya boleh dibahagikan kepada dua: 26 ahli dipilih oleh
Dewan Undangan Negeri sebagai mewakili 13 negeri. 44 ahli lagi dilantik oleh
Seri Paduka Baginda Yang di-Pertuan Agong atas nasihat Perdana Menteri,
termasuk dua ahli dari Wilayah Persekutuan Kuala Lumpur, dan satu ahli
masing-masing dari Wilayah Persekutuan Labuan dan Putrajaya.
Dewan Rakyat pula mempunyai seramai
222 ahli, dan setiap ahli mewakili satu kawasan pilihan raya. Ahli-ahli dipilih
atas dasar sokongan ramai melalui pilihan raya. Setiap ahli Dewan Rakyat
memegang jawatan selama 5 tahun, dan selepas itu pilihan raya yang baru akan diadakan.
Kuasa perundangan dibahagikan di
antara kerajaan persekutuan dengan kerajaan negeri. Ini ditentukan oleh
parlimen. Undang-undang tertinggi ialah Perlembagaan
Malaysia dan ia
memerlukan majoriti dua pertiga untuk diubah. Walau bagaimanapun, peratusan
ahli pihak pemerintah sentiasa melebihi nisbah ini. Undang-undang kedua ialah
undang-undang syariah yang menumpukan pada orang Islam di Malaysia. Sultan
merupakan ketua agama Islam dan kuasa ini tertakluk kepada baginda kerajaan negeri.
tidak memeranjatkan, undang-undang syariah ini agak berbeza mengikut negeri.
Sistem
legaliti Malaysia
berasaskan undang-undang British. Walau bagaimanapun, kebanyakan daripada
undang-undang dan konstitusi telah diambil dari undang-undang India. Mahkamah
Persekutuan mengkaji kembali keputusan yang rujuk daripada Mahkamah Rayuan; ia
mempunyai jurisdiksi asal dalam hal-hal konstitusi dan dalam perselisihan di
antara negeri-negeri atau di antara kerajaan persekutuan dan sesuatu negeri.
Semenanjung Malaysia, Sabah dan Sarawak setiap satunya mempunyah mahkamah
tinggi. Kerajaan Persekutuan mempunyai autoriti terhadap hal-hal luar negara,
pertahanan, keselamatan dalam negeri, keadilan (kecuali kes-kes undang-undang
sivil di kalangan orang Melayu dan orang-orang Muslims yang lain dan juga
orang-orang asli, yang diletakkan di bawah undang-undang Islam dan tra
tradisi), warganegara persekutuan, kewangan, perdagangan, industri, komunikasi,
pengangkutan, dan hal-hal lain.
Malaysia mengamalkan sistem politik
berbilang parti sejak pilihan
raya pertama
pada tahun 1955, berasaskan konsep "siapa cepat dia dapat" (first-past-the-post).
Parti politik utama Malaysia, Pertubuhan
Kebangsaan Melayu Bersatu
(UMNO), telah memegang kuasa bersama parti - parti yang lain sejak kemerdekaan
Malaya pada 1957. Pada 1973, perikatan parti yang berasaskan kepada kaum telah
digantikan dengan perikatan yang lebih besar -- Barisan Nasional-- yang mempunyai 14 parti. Hari ini perikatan Barisan
Nasional mempunyai tiga komponen penting - UMNO, MCA (Persatuan Cina
Malaysia) and MIC
(Kongres India
Malaysia). Perdana
Menteri Malaysia adalah ahli daripada parti Melayu (UMNO) di dalam perikatan
Barisan National.
Proses politik di Malaysia boleh
digambarkan sebagai mengambil bentuk "perkongsian kuasa"/(Konsosialisme)" yang mana "kepentingan bersama boleh
diselesaikan di dalam satu rangka kerja campuran yang besar"[1] . Di dalam buku Government and Politics in Southeast
Asia' cabang eksekutif cenderung untuk mendominasi aktiviti politik, dengan
pejabat Perdana Menteri menjadi satu kedudukan untuk mempengerusikan
"sekumpulan kuasa yang semakin membesar dan meluas supaya tindakan dapat
diambil terhadap individu atau organisasi," dan "memudahkan peluang
perniagaan". Pada umumnya kritikan-kritikan mengakui walaupun
autoritorianisme di Malaysia melangkaui pentadbiran Mahathir bin Mohamad, beliau juga adalah orang yang
"membawa proses berkenaan kehadapan dengan berkesan"
Sarjana undang-undang mencadangkan
bahawa secara politiknya "persamaan bagi keharmonian agama dan
bangsa" adalah sangat rapuh, dan "kerapuhan ini berpunca daripada
identifikasi agama dan bangsa berpasangan dengan ketuanan Melayu orang-orang Melayu bertembung dengan cita-cita bangsa lain
bagi mendapatkan persamaan hak."
Seperti kehendak segelintir
masyarakat Muslim terdiri daripada majoriti Melayu mewujudkan sebuah negara Islam, desakan bukan Melayu untuk hak samarata adalah sesuatu
daripada perlembagaan tidak dapat disesuaikan. Bagi
desakan yang mencucuk dalam suatu sistem politik— satu sistem yang berdasarkan
kecemerlangan politik orang Melayu. Satu desakan yang mencabar punca kuasa
autoriti pemerintahan orang Melayu.
Pada awal September 1998, Perdana Menteri
pada waktu itu, Dato' Seri Mahathir bin Mohamad telah memecat Timbalan Perdana
Menterinya, Dato' Seri Anwar Ibrahim di atas tuduhan melakukan perbuatan tidak bermoral [2] dan juga korupsi. Anwar mengatakan bahawa penyingkirannya
adalah kerana perbezaan politik antaranya dan Mahathir. Beliau telah
melancarkan beberapa siri tunjuk perasaan untuk mendesak diadakan reformasi
pada sistem politik Malaysia. Kemudiannya, Anwar telah ditangkap, dipukul
ketika ditahan di penjara (termasuk dipukul oleh Ketua Polis Negara), dan
didakwa dengan kesalahan melakukan rasuah, dalam kedua-dua konteks
undang-undang dan moral, pendakwaan-pendakwaan termasuklah halangan
keadilan dan liwat. Pada bulan April 1999, beliau
telah didapati bersalah kepada empat pendakwaan korupsi dan telah dijatuhkan
penjara selama 6 tahun. Pada bulan Ogos 2000, Anwar telah didapati bersalah
pada pendakwaan liwat dan telah dijatuhkan 9 tahun berturut-turut selepas
kesalahan yang dijatuhkan selama 6 tahun tersebut. Kedua-dua perbicaraan telah
dipandang oleh pemerhati tempatan dan antarabangsa sebagai tidak adil. Sabit
kesalahan Anwar terhadap kes liwat telah ditukar menjadi sebaliknya, dan beliau
telah menyempurnakan 6 tahun penjara bagi korupsi, beliau telah dibebaskan
daripada penjara. Dalam pilihan
raya umum November 1999,
Barisan Nasional telah kembai berkuasa dengan tiga
perempat daripada keseluruhan kerusi parlimen, tetapi kerusi UMNO telah jatuh
dari 94 ke 72. Pakatan pembangkang Barisan Alternatif, yang telah diketuai oleh Parti Islam
Se-Malaysia
(PAS), telah meningkatkan kerusinya kepada 42. PAS kembali mengawal kerajaan
negeri Kelantan dan telah memenangi kerajaan negeri Terengganu.
Perdana menteri kini adalah Dato' Seri Abdullah Ahmad
Badawi (lebih
mesra dipanggil sebagai 'Pak Lah'). Beliau mengambil alih pentadbiran berikutan
persaraan Dr. Mahathir (sekarang Tun Dr. Mahathir) pada 31 Oktober 2003. Abdullah Badawi dilihat sebagai tokoh yang lebih bertolak
ansur dan lemah-lembut jika dibandingkan dengan Tun Dr. Mahathir yang gayanya
lebih berterus terang dan bersifat konfrontasi. Beliau berikrar untuk
meneruskan dasar-dasar berorientasikan agenda pembangunan Tun Dr. Mahathir, sementara itu
membuat kurang kenyataan pengistiharan berkaitan dasar luar berbanding Tun Dr.
Mahathir, yang kerap kali menyelar negara-negara barat, iaitu Amerika Syarikat dan Australia secara khusus.
Dalam pilihan
raya umum pada Mac 2004,
Dato' Seri Abdullah Ahmad
Badawi mengetuai
Barisan Nasional untuk mencapai keputusan undi yang
besar, yang mana Barisan Nasional mendapat semula negeri Terengganu. Kini kerajaan campuran menguasai 92% kerusi dalam Parlimen. Pada tahun 2005, Dr. Mahathir telah menyatakan
"Saya percaya negara ini harus mempunyai kerajaan yang kuat tetapi tidak
terlalu kuat. Suatu majoriti dua pertiga seperti yang saya nikmati ketika saya
merupakan perdana menteri adalah cukup tetapi suatu majoriti sebanyak 90%
adalah terlalu kuat... Kami memerlukan parti pembangkang untuk mengingatkan
kami jika kami membuat kesilapan. Apabila anda tidak ditentang, anda
berpendapat bahawa setiap perkara yang anda buat adalah betul." [3]
Pada pilihan
raya umum tahun 2008,
parti-parti pembangkang berjaya menghalang Barisan Nasional dari meraih
majoriti ⅔ buat kali pertama sejak tahun 1969, iaitu 82 daripada 222 kerusi di
Dewan Rakyat. Tiga parti pembangkang utama, iaitu Parti Keadilan
Rakyat, Parti Tindakan
Demokratik dan Parti Islam
Se-Malaysia
membentuk satu perikatan bergelar Pakatan Rakyat tidak lama selepas kejayaan ini.
E. PERBANDINGAN
SISTEM POLITIK INDONESIA DENGAN MALAYSIA
Indonesia dengan
Malaysia merupakan negara serumpun, Indonesia dan Malaysia juga merupakan
tetangga dekat yang memiliki banyak kesamaan dan juga perbedaan. Bentuk
Negara Indonesia merupakan Negara Kesatuan. Indonesia merupakan sebuah Republik
yang menjalankan pemerintahan presidensial dengan sistem multipartai yang
demokratis. Seperti juga di Negara-negara demokrasi lainnya, sistem politik di
Indonesia didasarkan pada Trias Politika yaitu kekuasaan legislatif, eksekutif
dan yudikatif.
Kekuasaan
legislatif dipegang oleh sebuah lembaga bernama Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).
MPR pernah menjadi lembaga tertinggi negara unikameral,
namun setelah amandemen ke-4 MPR
bukanlah lembaga tertinggi lagi, dan menjadi lembaga bikameral yang terdiri dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
yang merupakan wakil rakyat melalui Partai Politik,
ditambah dengan Dewan Perwakilan Daerah (DPD)
yang merupakan wakil provinsi dari jalur independen.
Lembaga eksekutif
berpusat pada presiden, wakil presiden,
dan kabinet.
Kabinet di Indonesia adalah Kabinet Presidensial sehingga
para menteri bertanggung jawab kepada presiden dan tidak mewakili partai
politik yang ada di parlemen. Meskipun demikian, Presiden saat ini yakni Susilo Bambang Yudhoyono yang
diusung oleh Partai Demokrat juga
menunjuk sejumlah pemimpin Partai Politik untuk
duduk di kabinetnya. Tujuannya untuk menjaga stabilitas pemerintahan mengingat
kuatnya posisi lembaga legislatif di Indonesia. Namun pos-pos penting dan
strategis umumnya diisi oleh menteri tanpa portofolio partai (berasal dari
seseorang yang dianggap ahli dalam bidangnya).
Lembaga
Yudikatif sejak masa reformasi dan adanya amandemen UUD 1945 dijalankan oleh Mahkamah Agung, Komisi Yudisial,
dan Mahkamah Konstitusi, termasuk pengaturan
administrasi para hakim.
Indonesia
saat ini terdiri dari 33 provinsi,
lima di antaranya memiliki status yang berbeda. Provinsi dibagi menjadi kabupaten dan kota yang
dibagi lagi menjadi kecamatan, kelurahan, desa, gampong, kampong, nagari,
pekon, atau istilah lain yang diakomodasi oleh Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Tiap provinsi memiliki DPRD Provinsi dan Gubernur;
sementara Kabupaten memiliki DPRD Kabupaten dan Bupati; kemudian kota memiliki DPRD Kota dan walikota;
semuanya dipilih langsung oleh rakyat melalui Pemilu dan Pilkada.
Berdasarkan
Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004, terdapat dua asas dalam penyelenggaraan
pemerintah daerah yaitu asas desentralisasi dan dekonsentrasi. Dengan demikian
Negara Kesatuan Republik Indonesia walaupun memberikan kewenangan pada
pemerintah daerah dalam hal ini setingkat Provinsi, namun tetap merujuk pada konstitusi
negara Republik Indonesia yaitu UUD 1945 hasil Amandemen dan juga UU 32 Tahun
2004 dimana yang menjadi kewenangan Pemerintah Daerah dibatasi oleh kewenangan
yang langsung dikerjakan oleh Pemerintah Pusat. Adapun kewenangan yang dimiliki
pemerintah pusat ialah politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi,
agama, moneter dan fiskal nasional.
Sedangkan Negara
Malaysia adalah monarkhi konstutisional dan berbentuk Federal yang secara
nominal dikepalai Yang di-Pertuan Agong, yang secara adat disebut dengan Raja.
Raja sekaligus adalah pemimpin agama Islam di Malaysia. Yang di-Pertuan Agong
dipilih dari dan oleh sembilan Sultan Negeri-Negeri Malaya,
untuk menjabat selama lima tahun secara bergiliran; empat pemimpin negeri
lainnya, yang bergelar Gubernur, tidak turut serta di dalam pemilihan.
Sistem
pemerintahan di Malaysia bermodelkan sistem parlementer. Tetapi di dalam
praktiknya, kekuasaan lebih terpusat di eksekutif daripada di legislatif, dan
judikatif diperlemah oleh tekanan berkelanjutan dari pemerintah selama zaman
Mahathir, kekuasaan yudikatif itu dibagikan antara pemerintah persekutuan dan pemerintah negara bagian.
Sejak kemerdekaan pada 1957, Malaysia diperintah oleh koalisi multipartai yang
disebut Barisan Nasional (pernah
disebut pula Aliansi).
Kekuasaan legislatif dibagi
antara legislatur persekutuan dan legislatif negeri. Parlemen bikameral terdiri
dari Dewan Rendah yaitu,
Dewan Rakyat (mirip
"Dewan Perwakilan Rakyat" di Indonesia) dan Dewan Tinggi yaitu, Senat
atau Dewan Negara (mirip
"Dewan Perwakilan Daerah" di Indonesia). Dewan Rakyat dipilih dari
daerah pemilihan beranggota-tunggal yang diatur berdasarkan jumlah penduduk. Di
samping Parlemen di tingkatan persekutuan, masing-masing negara bagian memiliki
dewan legislatif unikameral (Dewan Undangan Negeri) yang para anggotanya
dipilih dari daerah-daerah pemilihan beranggota-tunggal.
Kekuasaan eksekutif dilaksanakan
oleh kabinet yang dipimpin oleh Perdana Mentri (Kepala Pemerintahan), konstitusi Malaysia menetapkan
bahwa Perdana Menteri haruslah anggota Dewan Rendah (Dewan Rakyat), yang direstui Yang
di-Pertuan Agong dan mendapat dukungan mayoritas di dalam parlemen
Kabinet dipilih dari para anggota Dewan Rakyat dan Dewan Negara dan bertanggung
jawab kepada badan itu, sedangkan kabinet merupakan anggota parlemen yang
dipilih dari Dewan Rakyat atau Dewan Negara.
Pemerintah
negara bagian dipimpin oleh Menteri Besar (Kepala Daerah setingkat Gubernur
jika di Indonesia) di negeri-negeri Malaya atau Ketua Menteri di negara-negara yang tidak memelihara
monarki lokal, yakni seorang anggota majelis negara bagian dari partai
mayoritas di dalam Dewan Undangan Negeri. Di tiap-tiap negara bagian yang
memelihara monarki lokal, Menteri Besar haruslah seorang Suku Melayu Muslim,
meskipun penguasa ini menjadi subjek kebijaksanaan para penguasa. Kekuasaan
politik di Malaysia amat penting untuk memperjuangkan suatu isu dan hak. Oleh karena
itu kekuasaan memainkan peranan yang amat penting dalam melakukan perubahan.
Dengan demikian
administrasi pemerintahan Malaysia dibagi dalam tiga struktur: (1) Pemerintahan
Pusat (Federal) di Kuala Lumpur; (2) Pemerintahan Negara Bagian; dan (3) Pemerintahan
Setempat (Local Government). Pemerintah Federal memiliki otoritas dalam
beberapa bidang yang meliputi keuangan, luat negeri dan pertahanan, keamanan
dalam negeri, pendidikan dan kesejahteraan sosial. Maka kewenangan dalam hal
Agama diatur oleh Pemerintah Negara Bagian. Hal tersebut menjadikan Negeri
Bagian Kelantan dapat melaksanakan hukum Islam sebagai hukum formal.
Dapat diambil
kesimpulan bahwa bentuk negara Indonesia yaitu, Negara Kesatuan dengan
mengedepankan asas dekonsentrasi dan desentralisasi sedangkan bentuk Negara
Malaysia yaitu, Federal. Sehingga hal tersebut pun berpengaruh terhadap
penerapan nilai-nilai Islam di kedua negara tersebut terutama dalam wilayah
Negara Bagian dan Provinsi di kedua Negara tersebut.
Namun Demikian
Malaysia dan Indonesia adalah Negara yang menempatkan Islam dalam kedudukan
penting. Itu dikarenakan Islam adalah agama yang dianut oleh mayoritas
masyarakat kedua Negara tersebut. Muslim di Indonesia dan Malaysia menganut
Mazhab Syafi’i, yang merupakan mazhab moderat dan paling banyak dianut di Asia
Tenggara. Di Malaysia, gerakan-gerakan Islam relatif homogen dalam menyuarakan
tuntutan Islamisasi nilai-nilai dan hukum Islam di semua wilayah kehidupan.
Sebaliknya, di Indonesia ada keragaman gerakan Islam, yang meliputi perspektif
yang beragam tentang cara mengaktualisasikan Islam dan prinsip-prinsipnya dalam
kehidupan publik.
Maka dari itu,
Islamisasi di Indonesia menjadi berbeda dengan Malaysia, karena penerapan Islam
secara legal-formal dapat dilihat dari proses perjuangan umat Islam di
masing-masing Negara.
Indonesia
merupakan Negara multi etnis yang sejak periode perjuangan kemerdekaan telah
ada polarisasi dua arus kekuatan besar, Islam dan Nasionalisme. Semenjak Negara
ini lahir, penduduk di dalamnya tidak pernah berhenti berdebat tentang seberapa
besar tempat yang herus diberikan kepada Islam dalam konteks politik modern.
Para founding
fathers negeri ini sempat terbelah dalam soal apakah Islam atau lainnya
yang menjadi dasar Negara. Kelompok Islam beranggapan bahwa sudah selayaknya
Islam diberi tempat lebih besar dalam struktur ketatanegaraan baru, karena
Indonesia ditegakkan dan dihuni oleh mayoritas penduduk yang beragama Islam.
Sementara kelompok nasionalis berdalih bahwa Negara yang penduduknya tidak seratus
persen Muslim, hubungan legal-formal antara Islam dan Negara bukan sebuah
keharusan, karena hal itu rentan melahirkan diskriminasi, khususnya bagi
kalangan non-muslim. Menurut argumen ini, sejauh umat islam berperan aktif
dalam proses politik, maka tidak akan ada kebijakan yang tidak dipengaruhi
nilai-nilai Islam. Ketika situasinya semakin genting, Piagam Jakarta, yang di
dalamnya termuat perihal syariat islam, akhirnya dihapuskan.
Maka kemelut
ideologi yang menyertai awal lahirnya Negara baru ini berakhir dengan suatu
kompromi yang khas. Indonesia secara konstitusional bukan Negara islam, namun
juga bukan Negara sekuler yang memandang agama semata-mata sebagai masalah
pribadi yang sama sekali terlepas dari Negara.
Sementara di
Malaysia, Islam sebagai agama mayoritas penduduk ditampung dalam konstitusi dan
dinyatakan sebagai agama resmi Negara. Itu disebabkan karena Malaysia merupakan
negeri yang di dalamnya aspirasi Islam dan kebangsaan mengendap dalam asosiasi
kultural-politis yang rapat. Pada tahap pra-kemerdekaan, Islam dan kebangsaan
selalu hadir berdampingan dalam sejarah politik Melayu.
Berbeda dengan
Indonesia, sejarah politik Melayu hampir tidak mengenal polarisasi antara
kekuatan Islamis dan nasionalis. Islam tidak pernah mendapat tantangan dari
kekuatan sekuler, karena ia adalah satu-satunya sistem simbolik yang paling
dominan yang diterima secara luas oleh masyarakat. Ketika Islam masuk dalam
konstitusi sebagai agama resmi Negara, praktis tidak ada perlawanan dari
kelompok-kelompok nasionalis sekuler seperti di Indonesia.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
a. Sistem adalah
kesatuan seperangkat struktur yang memiliki fungsi masing-masing yang bekerja
untuk mencapai tujuan tertentu. Sistem politik adalah kesatuan (kolektivitas)
seperangkat struktur politik yang memiliki fungsi masing-masing yang bekerja
untuk mencapai tujuan suatu negara.
b. Indonesia adalah sebuah negara hukum yang
berbentuk kesatuan dengan pemerintahan berbentuk republik dan sistem pemerintahan presidensial dengan sifat parlementer. Indonesia tidak menganut sistem
pemisahan kekuasaan melainkan pembagian kekuasaan. Walaupun ± 90% penduduknya
beragama Islam, Indonesia bukanlah sebuah negara Islam.
c. Malaysia mengamalkan sistem demokrasi berparlimen di bawah pentadbiran raja berperlembagaan. Malaysia diketuai oleh Seri Paduka
Baginda Yang di-Pertuan
Agong yang
dipilih daripada sembilan sultan negeri Melayu untuk berkhidmat selama lima
tahun sebagai Ketua Negara dan Pemerintah Tertinggi Angkatan Tentera.
d. Indonesia
dengan Malaysia merupakan negara serumpun, Indonesia dan Malaysia juga
merupakan tetangga dekat yang memiliki banyak kesamaan dan juga
perbedaan. Bentuk Negara Indonesia merupakan Negara Kesatuan. Indonesia
merupakan sebuah Republik yang menjalankan pemerintahan presidensial dengan
sistem multipartai yang demokratis. Seperti juga di Negara-negara demokrasi
lainnya, sistem politik di Indonesia didasarkan pada Trias Politika yaitu
kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif.
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA
http://ms.wikipedia.org/wiki/Politik_Malaysia
Diakses pada tanggal 15 Mei 2014; 16:56
http://id.wikipedia.org/wiki/Politik_Indonesia Diakses pada tanggal 15 Mei 2014; 17:01
http://jennerrein.wordpress.com/2010/08/27/perbandingan-pelaksanaan-sistem-pemerintahan-di-indonesia-dengan-negara-lain/
Diakses pada tanggal 15 Mei 2014; 17:19
http://guruhmuamarkhadafi.blogspot.com/2012/06/perbandingan-politik-indonesia-malaysia.html
Diakses pada tanggal 15 Mei 2014; 17:23